13. Anggun dalam Keluarganya

63 35 4
                                    

Sewaktu gue terbangun, gue sudah berada dalam dekapan Tokichi. Dia juga tertidur sambil memeluk tubuh gue. Gue ingat-ingat kembali bahwa gue tadi ada di sisi kirinya, gue tidak lagi di pinggir, tapi saat ini gue ada tepat di samping paha kirinya dengan tangan kanan gue diantara pinggang kami berdua. Dia duduk menyerong menghadap pintu mobil sisi kiri. Tangan gue terjepit, gue berusaha membuat celah agar tangan kanan gue bisa digerakkan. Tapi usaha gue gagal dia meluk gue. Gue terkejut, kita masih kecil sudah seperti pasangan dewasa. Gue melihat Pak Bondo dari spion dalam, beliau hanya mengatakan, "tidak apa-apa... Kalian juga sudah bertunangan. Walaupun saya muslim, tapi saya tidak berhak mencampuri urusan agama lain. Saya hanya bekerja sesuai dengan tugas saya untuk menjaga kalian berdua." Jelas Pak Bondo membuang logat Sunda miliknya. Pak Bondo bilang tidak apa-apa, sih, itu dari dia, ya. Kalau gue, malunya setengah mati. Perasaan gue tadi hanya meminjam pundak kenapa jadi di peluk. Mana gue masuk ke dalam jaketnya pula. Sudah kayak isian mochi gue, di lipat-lipat pakai jaket, terus di dekap gini. "Njir, sesak! F*ck!" umpatan gue tak didengar olehnya yang ada malah gue ditertawakan sama Pak Bondo.

"Non, cubit saja atuh," saran dari Pak Bondo dengan tawanya. Gue merasa seperti lagi main sinetron anak SMA, terus disoraki sama yang tua-tua gitu. Lebay amat, ya, gue. Gue mencoba saran dari Pak Bondo, gue mencubit perutnya dengan sekeras-kerasnya memakai tangan gue yang terjepit di antara pinggang kami. Tapi dia nggak bangun-bangun. Gue jadi dejavu, gue pernah mencubit dia saat hukuman di bawah tiang bendera dan panas-panasan tapi, kini gue mencubit dia lagi dengan kondisi sesak. Gue heran, nggak bisa gitu gue bareng dia dalam keadaan nyaman, dan damai. Sweet dikit, ada...saja yang bikin kesal.

"Eh, kulit badak, Pak!" cibir gue berkata ke sopir Tokichi—Pak Bondo.

Dia terbangun. "Buset! Lu...wah, parah gue cubit nggak kesakitan malah gue cibir lu bangun, Tok. Kulit lu bener-bener badak, ya." Setelah mencubit dia tangan gue terasa kebas, apa mungkin karena terlalu keras mencubit atau karena kelamaan di tekuk jadi kaku.

Gue menatap matanya tajam, dia menyipitkan mata dan hanya tersenyum. Tubuh gue mulai bisa digerakkan karena tangan kanannya sudah melepaskan pelukannya ke gue, tapi Tokichi tidak melepaskan pelukan tangan kirinya dari tubuh gue.

"Senyam-senyum mulu lu. Sesak, nih, gue. Mana jaket lu tebel banget!"

"Oh, maaf..." cicit dia lirih melepaskan pelukannya.

"Aneh, ya, lu, ada jaket tapi nggak dipake buat selimut di kamar hotel malah di tinggal dalem mobil. Untung nggak masuk angin," gerutuan gue dengan memijat tangan gue yang kebas.

"Hehe, lu khawatir?"

"Nggak!"

"Pak sudah sampai, ya?" tanya Tokichi ke sopirnya, dengan mata yang masih berkedip-kedip. Sepertinya dia tahu jika gue menghindarinya.

"Belum...A, lima belas menit lagi kemungkinan sampai."

"Oh, sedikit lagi Ar." Gue diam, fokus dengan tangan gue yang kebas. "Lu marah Ar?" tambahnya yang melihat gue tidak membalas ucapan dia. Gue yang mulai kesal pun mau tak mau harus tarik napas dalam-dalam lalu..."Lu liat, tangan gue kebas, leher gue merah. Lu meluk apa mau bunuh orang, mimpi apa lu, dapat janda betina!" bentak gue dalam mobil tanpa memikirkan yang dirasakan Tokichi kenapa memeluk gue seerat itu.

"Hahaha... janda itu ya, betina. Masak ada janda pejantan, Ar."

"Lol!"

"Hahahahaha. Jadi, badan lu itu empuk makanya gue peluk."

"Eh... Lu pikir gue babi guling?"

"Mirip, kalo marah."

"Bangke, lu, Tok!" gue yang kesal memukul tubuhnya. Entah apa yang terjadi sama gue kok, bisa-bisanya gue kekanakan memukul tubuhnya. Sebenarnya bisa saja, kan, gue langsung bogem mentah dia, enggak sok pukul manja gitu. Kesambet setan perempuan mana gue, gue pun tak tahu. Tokichi hanya menertawakan gue, ketawanya makin lepas dan menular ke gue yang awalnya marah ke dia. Namun, dia bertanggung jawab mau memijat tangan gue hingga tidak terasa kebas lagi.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang