50. Pandangan Gue Melihat Dunia

16 4 2
                                    

Kelulusan kakak kelas telah usai, gue naik ke kelas XII. Tapi permasalahan hutang Papi belum selesai. Momi sudah angkat tangan dan lebih memilih fokus pada Gendis juga usahanya. Pernikahan gue tetap langgeng, tidak ada lagi masa lalu yang datang mengganggu. Tidak ada lagi isu kepercayaan, pendidikan tetap berjalan, dan bisnis pun mulai bangkit lagi. Papi gue mau berubah, dan gue berencana akan berbicara terkait hutang Papi gue, entah kapan. Gue masih malu.

Satu minggu berlalu, gue masih saja maju mundur. Gue mencoba fokus dengan belajar gue yang ingin masuk di universitas Binus. Tante Dara mulai kambuh kembali sakitnya dan entah apa yang telah dibisikkan beliau pada Tokichi di rumah sakit, gue abai.

Malam ini, dia mau kita tidur berdua di kamar utama yaitu, kamar dia. Gue sulit tidur dengan tenang karena kegelisahan dia. Dia membuat kasur kami berguncang hebat, katanya posisi tidur dia tak nyaman. Gue pun menoleh. Gue lihat dia berkeringat padahal ac menyala.

"Tok, tenang dikit kalo tidur nggak bisa, ya?" sindir gue yang lelah selama seharian penuh belajar juga jagain Bunda pun harus menjaga Gendis gantian dengan Momi yang mana Momi juga gantian dengan gue jagain Bunda di rumah sakit.

Dia tetap saja gelisah. Gue kira dia mendengarkan tutur kata gue nyatanya, tidak! Gue pun menoleh ke dia dan mendekat. Gue rapatkan kedua pipinya dengan kedua telapak tangan gue. Gue suruh dia lihat gue dalam-dalam.

"Aku nggak bisa main hipnotis, jadi, tidur!" seru gue semakin menekan kedua pipinya sampai mukanya tak berbentuk lagi. Gue sangat jengkel, gue lelah, dan mau tidur karena besok harus sekolah lagi, belajar lagi, dan berjaga lagi.

"Mama minta bayi," teriak dia di kamar.

"Mampus!?" pekik gue yang juga terkejut dengan suaranya namun juga tak habis pikir bahwa Bunda akan mengatakan hal itu ke Mas suami-Tokichi.

"Mama bilang dia gak sanggup lagi Ar melawan sakitnya." Kata dia dengan mata yang membulat sempurna. "Gg-gue...gue. Anjir," kata dia terbata dan meraup mukanya sendiri dengan telapak tangan kanannya.

"Gue apa?!" pekik gue geregetan.

"Gue... gue. F*ck you—"

"F*ck you too," potong gue yang geram denganya karena mengumpat . "Ngomong aja, kok susah banget lu, ah!" gue merubah posisi berhadapan dengan dia. Tokichi terkejut seketika melihat posisi kami—gue terlentang di bawahnya dengan kedua siku tangan menjadi penyangga. Lalu dia berada diatas gu—etengkurap—kedua tangan menyangga tubuhnya. Gue masih bingung dengan isi kepalanya.

"Ah!!' teriaknya lantang seperti wanita. Gue menyerukan ke dia dengan menirukan suara untuk usir ayam padanya. Gue pun memberitahu dia bahwa dia itu cowok bukan cewek.

"Huah! Gue nggak ada pengalaman berhubungan suami istri," kata dia main serobot dengan cepat. Gue membelalakkan mata gue dan kemudian mendorongnya menjauh pergi dari tubuh gue. Gue beranjak dari kasur.

"Lo, lo, mau apa!!" teriak gue ke dia. Tangan kiri gue menyentuh gagang pintu, dan tangan kanan memegang sapu, untuk siap memukul tubuhnya.

"Pait, pait, pait," balas dia seperti mengusir ratu tawon.

"Kampret!"

Gue banting pintu dan pergi ke kamar gue sendiri. Sebelum tidur gue meminum air mineral sebanyak-banyaknya karena masih syok dengan tingkah dia malam ini. Gue kira, gue diajak tidur bersama mau dikasih kejutan apa, ternyata dia menjadi orang aneh yang akan merenggut milik gue. No! Gue masih suci, gue masih memiliki banyak mimpi di masa depan. Gue masih wanita yang penuh dengan masalah. Jadi, jangan menambah masalah baru dengan membuat anak, sekarang!!!

Gue tertidur, namun, perlahan gue merasakan berat di tubuh atas gue. "Mama bilang ujian akhir sekolah telah usai jadi kita boleh bikin, segera!" bisiknya di telinga kanan gue.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Where stories live. Discover now