9. Gue Kemana-mana Harus Bareng Dia

85 49 6
                                    

Bel jam pertama telah berbunyi, gue bersiap di tempat gue. Hari ini gue melihat Dita masuk ke kelas saat bel baru berbunyi. Wajahnya terangkat, matanya dingin, dan dia berjalan dengan tegak. Gue tersenyum ke arahnya, dia menolak senyuman dari gue dengan menyapa teman dari bangku lain. Dita telah duduk di samping gue, gue takut mau menyapanya. Gue pun menunggu hingga pelajaran berlanjut. Sampai ketika, suasana telah berubah menjadi hangat, gue melihat Dita bercanda dengan teman sebangku yang ada di depan kita. Mereka bertiga tertawa saat guru pengajar keluar karena keperluan. Gue pun mencuri waktu mereka untuk bertanya pada teman gue ini. "Dit, apa yang terjadi dengan Pak Hanif?" bisik gue bertanya ke Dita saat jam pelajaran pertama longgar. Dita menoleh dengan gerakan cepat, sampai rambutnya yang tergerai mengenai mata gue. Gue tersenyum ke arah Dita. Ekspresinya dingin ke gue, hati gue sakit melihat Dita yang sekarang.

"Tanya saja sama Tokichi," ketus Dita membalas gue.

Gue merasa ada yang tidak beres juga dengan teman gue ini. Tak biasanya dia seperti ini, gue takut dia juga akan berubah seperti teman-teman yang lain. Meskipun gue tahu, dia sudah berubah drastis dari kemarin tapi gue denial. Gue yang melihat Dita mengabaikan gue, gue berpikir bagaimana jika gue melihat Bagas. Mungkin Bagas akan seperti biasanya yang jahil dan humoris. Gue mencoba menoleh ke belakang melihat ke arah Bagas, tapi dia memalingkan mukanya dari pandangan gue. Ada apa ini?
Pelajaran di jam pertama telah selesai dan kini berganti pelajaran jam kedua—Bahasa Inggris. Sepanjang pelajaran sampai jam istirahat suasana sunyi, tiba-tiba ramai saat Siska dan Bagas terjatuh dari bangku karena kejahilan teman-teman yang lain. Jam istirahat ini yang baru bisa membuat gue ikut tertawa dengan mereka. Bagas saat tertawa menyipit matanya, karena memang dia sipit, Siska berkebalikan karena matanya bulat besar. Tokichi tiba-tiba nongol menjemput gue di kelas. Kedatangannya membuat seisi ruangan yang awalnya ramai jadi hening. Teman-teman gue pergi satu persatu meninggalkan kelas termasuk Dita. "Eh, kok, kalian pergi?" tanya gue bingung melihat reaksi teman-teman sekelas gue. Gue kebingungan melihat kelas kosong dan tinggal gue dengan Tokichi saja.

"Ari..." Tokichi memanggil gue dengan suara yang lembut, gue menoleh dan langsung membentak dia.

"Tokichi ada apa, sih, ini? Ceritain ke gue saat gue nggak masuk." Gue tidak terima diperlakukan seperti orang asing di kelas gue sendiri. Kelas ini sudah seperti keluarga kedua gue. Dengan segala kekurangan dan keburukan mereka semua, gue terima. Gue tak ikhlas jika terjadi gesekan di antara kami tapi tidak saling menjelaskan satu dengan yang lain terkait letak yang salah. Dia mendengarkan gue, dan berkata akan mengatakan semuanya asalkan kita makan siang terlebih dulu. Gue awalnya tidak mau, gue maunya dia menjawab dulu apa yang gue tanyakan padanya. Tokichi pun menjawab gue dengan hal yang tak terduga sebelumnya. "Om, dan Tante udah nitipin lu ke gue, Ar..." gue terkejut dengan balasanya. Sampai segitunya, kah, orang tua gue? Gue sudah besar buat apa di titipkan kepada Tokichi yang banyak kurangnya ini. Apalagi tidak jujur dengan gue. Apa mereka lupa gue sakit karena siapa? Lagi-lagi gue harus mengalah dan mengesampingkan emosi gue. Gue pun menyetujui ajakan dari Tokichi untuk makan siang bersama di kantin sekolah.

Kita makan di kantin sampai selesai. Tokichi memenuhi ucapanya, dia menjelaskan semuanya. Jadi tepat hari pertama gue sakit Om Angga sudah memecat Pak Hanif —guru kesenian—dengan putusan dari kepala sekolah. Lalu di hari keempat setelah gue siuman tapi masih di rumah, Om Angga datang ke kelas gue dan bicara bahwa, besok murid yang bernama Ari akan kembali bersekolah. Jadi, mereka tidak diperbolehkan memanggil gue cewek isotop lagi karena takut mengganggu mental gue. Anggun, sebagai anaknya diwajibkan menjaga gue dan tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang gue kasih. Dita tidak boleh dekat lagi sama gue karena akan mempersulit pendekatan gue dengan Tokichi, begitu pula dengan anak-anak yang lain. Begitulah keterangan darinya. Sekarang seluruh murid tahu siapa gue, bukan hanya anak seorang jaksa saja melainkan calon menantu pemilik yayasan sekolah ini. Berita itu menyebar luas dan cepat sekali hingga terdengar di telinga senior.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang