5. Anggun Dhanurendra Dara Reswara

113 57 30
                                    

Gue pikir cowok ini ganteng-ganteng bloon dan nyebelin. Pantaskah, gue di bilang harus belajar lagi? Kan, gue sama dia memang sama-sama masih pelajar dan tiap hari gue belajar.

Aneh, ih!

Hari itu acara tunangan gue selesai begitu saja tanpa sepengetahuan tetangga dan Dita. Paginya gue minta maaf ke Dita karena nggak sempat jenguk dia dan nyokapnya. Gue masih tidak percaya bahwa di usia 15 tahun ini gue sudah bertunangan. Tapi gue bersyukur, gue bertunangan bukan karena skandal. Meskipun ada sedikit paksaan di dalamnya tapi kalau di pikir-pikir lagi, cewek mana, sih, yang mau diajak hidup susah sama laki-laki? Ya, enggak mau pasti, 'kan? Gue tidak bisa bayangkan kalau gue harus bertunangan dengan cowok yang sudah berbuat skandal, lalu image-nya buruk, dan yang lebih penting lagi, bagaimana jika cowok itu bukan dari keluarga yang baik-baik? Jadi, menurut gue ini adalah keputusan terbaik gue dan paling tepat. Toh juga Papi, Momi gue adalah teman dekat bokap, nyokap dia, kalau ada apa-apa semua akan jauh lebih cepat beresnya. Anehnya, gue baru ingat kalau setelah lari sore itu gue sempat berkata, aku, ke Tokichi dengan grogi. Pagi ini Siska menyapa gue lagi. "Ari...kamu harus bersyukur, ya, aku nggak ikut-ikutan panggil kamu si isotop. Jadi, baik-baik, ya, sama aku," tambahnya di pagi ini ke gue. Gue membalas dengan ucapan terimakasih tanpa melontarkan janji. Gue bukan orang yang suka melontarkan janji atau membuat orang lain berharap ke gue. Sebenarnya bukannya gue nggak mau baik-baik sama dia, tapi gue geli saja sama dandananya yang masih bocil tapi sudah kayak tante-tante. Itu sebabnya gue nggak mau terlalu dekat dengan Siska. Awal MOS dulu dia orang yang ramah dan mau menyapa gue duluan, tapi semakin kesini, dia semakin berlebihan.

"Ar," sapa Dita yang baru saja datang. Dita peka dengan ekspresi wajah gue. Dia bertanya ke gue, gue pun berkata jujur padanya terkait Siska. Dita bertanya apa yang membuat gue kurang suka dengan Siska. "Soalnya dia menyapa gue melulu, kan, gue ilfil tapi nggak bisa nolak, Dit. Masak disapa nggak gue sapa balik, itu nggak mungkin. Gue nggak suka dengan dandannya yang berlebih terlihat seperti kampungan."

"Iya, sih, tapi, tapi...tunggu, deh, Siska itu bukanya anaknya guru BP, ya?"

"Ah, yang bener lu?"

"Iya, mungkin itu sebab dia berani menyapa semua orang di sekolah."

"Buset, satu sekolah dia sapa. Gue pikir cuma gue doang yang di sapa."

"Gr banget lu. Udah, yuk, masuk."

Gue terkejut mendengar berita yang sebenarnya terkait si Siska. Ternyata di sekeliling gue banyak anak yang mengandalkan privilege. Pagi itu saat akan masuk kelas, gue celingak-celinguk barangkali ada si Tokichi yang tiba-tiba nongol dengan senyam-senyum anehnya itu lagi, tapi nyatanya tidak ada siapa-siapa. Hari ini hari Sabtu, hari santainya para murid untuk mengasah jiwa seni.

"Prok, prok!" Suara 2x tepukan dari guru kesenian namanya, Pak Hanif.

"Hari ini kelas kesenian sepuluh satu dalam kerajinan membuat topeng, oponen adalah kelas sepuluh lima. Semua segera berkemas menuju ruang teater."

"Baik."

Kelas hari Sabtu hanya satu mata pelajaran saja dengan 1 tambahan ekstrakurikuler wajib. Hari Sabtu dikhususkan memang untuk mengasah kreativitas para murid di SMAN. Omega Centaury 45. Setiap kelas diisi dengan guru kesenian yang berbeda-beda. Kali ini, Pak Hanif dari X1 beradu kreativitas pembuatan topeng dengan Bu Irin dari X5. Gue sama sekali tidak melihat Tokichi disana, gue tetap fokus dengan Dita membuat topeng.

Panggung teater tiba-tiba terbuka dan sudah disiapkan lembaran untuk penjurian di masing-masing kelompok. Dalam setiap kelas di bagi menjadi 2 tim yaitu, 2 baris bangku dari Timur, dan 2 baris bangku dari Barat, sehingga totalnya ada 4 kelompok. Nama kelompok itu diberikan secara acak diambil dari nama-nama bunga di dunia. Kelompok gue kebagian nama daffodil.

Bu Irin menyebutkan masing-masing dari nama kelompok itu : anyelir, daffodil, poinsettia, dan gladiol. Kelompok yang disebutkan tadi mengangkat tangannya sehingga gue bisa tahu bahwa, Tokichi berada di kelompok gladiol. Entah bagaimana mata gue bisa melihat dia yang sebelumnya menghilang, dia sudah seperti hantu kadang ada, kadang tidak ada dari pandangan gue. Dan ajaibnya, buat apa juga gue pedulikan dia.

Bu Irin dari kelas X5 menaiki panggung teater. Dia membuka selembar demi selembar kertas dengan gambar-gambar yang gue tidak tahu itu apa. Tapi yang jelas kertas putih itu transparan hingga terlihat jelas jika ada gambaran di 4 lembar kertas tersebut. "Anggun Dhanurendra Dara Reswara," seruan dari Bu Irin. Gue terperanjat mendengar panggilan itu. Bu Irin memberikan perintah bahwa dua ketua kelas wajib maju saat dipanggil. Ketua kelas gue bernama Khoiril pun maju saat dipanggil oleh Bu Irin.

Gue yang masih melongo melihat tunangan gue naik di atas panggung teater bersama ketua kelas gue, gue mencoba untuk mengajak Dita bicara. "Anjir, namanya, Dit." Gue harap Dita mereaksi umpatan gue agar gue terbangun dari ingatan masa lalu tepatnya hari kemarin, saat sebuah peristiwa mengejutkan hadir di hidup gue dari pagi hingga gelap.

"Panjang, ya?" tanya Dita seperti tidak tertarik tetapi masih dipaksa untuk menanggapi perkataan gue. Reaksinya hanya sebatas itu tak sesuai harapan gue, padahal dia juga yang membuat gue kenal dengan Tokichi.

"Bukan."

"Terus?"

"Namanya selang-seling. Bisa gitu, ya?"

"Haha." Ketawa Dita garing. Gue mencoba membuatnya untuk bertanya lagi ke gue. "Kok, ketawa, sih?!" balas gue dengan merubah nada bicara gue, ketus. Dita tidak merespons, gue gelisah, gue tidak ingin memikirkan hal itu lagi. "Dit!" seru gue ke dia yang fokus dengan topeng di kelas kita.

"Sudah lanjutin lagi, ah. Harus selesai hari ini juga, nih."

"Ok. Tapi, jujur pantas saja dia gitu orangnya namanya juga mencerminkan dia."

"Kenapa, sih, sama namanya?"

Akhirnya Dita bertanya juga ke gue. Jika sudah mengobrol begini, kan, gue tidak akan overthinking memikirkan hari kemarin. Jujur gue membutuhkan pendamping atau teman bicara agar gue bisa melawan ketakutan berlebih gue. Gue bukan orang yang bisa bahagia sendiri, bicara sendiri, tersenyum sendiri, dan apa-apa sendiri. Jadi, jujur saja gue salut untuk seseorang yang bisa apa-apa sendiri, menangani masalahnya sendiri termasuk menangani dirinya sendiri, tidak merepotkan orang lain sehingga tidak merugikan orang lain juga.

"Dia, kan, orangnya musiman, ucapannya juga berbelit, si lembayung—melilit-lilit, pantas gitu," balas gue yang membuatnya semakin kebingungan.

"Huh, masak, sih? Lu tau dari mana, Ar? Terus, kok bisa melilit-lilit," kebingungan Dita nampak jelas di mata gue.

Awalnya gue pikir nama lembayung itu gue asal beri karena dia yang suaranya mendayu-dayu seperti saat pertama kali kita bertemu, dan gue teringat dengan kelambu di rumah gue. Suara itu sama seperti angin saat menghempaskan kelambu yang berwarna lembayung terang. Gue awalnya ilfil dengan warna itu namun saat ini terbiasa. Gue juga berpikir kembali apa hubunganya lembayung dengan dia. Asal nyablak saja, lah, yang penting gue suka. "Ya itu, kan...ah, udah selesaikan ini, cepat!" saat Dita sudah mulai masuk lebih dalam gue lupa bahwa gue harus menyembunyikan perjodohan ini. Tatapan dia tak enak ke gue. Itu sudah pasti dan sudah gue duga. Gue hampir saja keceplosan mengungkapkan sesuatu ke Dita. Memang, nih, mulut kapan gitu bisa di tata. Asal nyablak beneran dong, gue.

Kadang gue pun suka kesal sendiri mulut gue seperti ini. Momi gue saja sampai menimpuk gue sama centong sayur sop gara-gara ini mulut. Setelah dipikir-pikir, nama Anggun Dhanurendra Dara Reswara. Cewek, cowok, cewek lagi, lalu cowok. Pantas saja dia sekejap lembut, lirih, sekejap dewasa, dan sekejab dingin, anaknya agak ribet, namanya saja gitu.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang