30. Percakapan Dua Arah Gen Z

15 9 0
                                    

Malam itu kami masih asyik nonton televisi—bercanda tawa—gue juga menanyakan terkait latihan hari ini. Dia sempat protes ke gue, kata Anton, gue tadi datang lalu pulang. Gue pun berterus terang kalau gue harus berkunjung ke rumah nyokap almarhum Dita. Kami pun kembali ke topik pembicaraan. Tokichi bilang kalau dia merasa kata dasar dalam seni beladiri karate terlalu kalem.

"Tapi pakai tenaga, 'kan?" protes gue mencari validasi.

"Iya, sih..." cicit dia lirih terkesan tidak yakin.

"Ih, lu kurang sabar, nih!" decak gue memainkan mata—lirik ke kiri.

Tokichi yang dipenuhi kekhawatiran, takut jika dia kalah dari Kak Sandi. Gue pun dengan entengnya menyatakan kalau seperti itu, jangan pernah mimpi untuk menikah muda. Tokichi harus tanggung jawab dengan kesanggupan dia di awal. Yang gue tunggu dari dia hanya bukti dari segala ucapanya bukan dusta seperti sebelum-sebelumnya. Kami membisu dan saling tatap, Tokichi memainkan kuku-kuku jarinya.

"Kenapa nggak panggil gue isotop lagi?" sindir gue saat dia murung.

"Itu karena waktu itu gue pikir lu akan marah sama gue atau mungkin ngomel ke gue. Seenggaknya gue pengen denger kalo lo butuh gue dengan omelan lu tapi..."

"Tapi?" gue mengernyitkan dahi.

"Tapi lu malah diem."

"Gabut banget lu! Asal lu tau, ya, gue waktu itu masih syok dan merasa begitu sensitif untuk hal-hal kecil. Gue sengaja diam agar gue nggak nyakitin orang lain karena mulut gue yang sarkas dan frontal. Akibat kesepian yang gue rasa, gue menjadi sensitif dan lu datang di saat momen yang nggak pas!" nyinyir gue, memprotes argumennya.

"Tapi orang lain nyakitin lu, kok, boleh?"

"Oh... gue paham. Gue lupa kalo Siska ada di grup kalian. Jadi benar? Itu rencana kalian juga? Termasuk lu ya..." sindir gue yang telah memahami mereka kala itu.

"Ah, maafin gue," desah dia resah menatap gue yang kecewa.

"Nggak papa...yang penting lu ngaku, udah cukup!" gue kaget saat dia jujur. Gue tersenyum ke arahnya sembari mengelus rambut lembutnya itu kemudian mencubit pipi dia. "Lu tidur di kamar tamu! Oh, ya, koper itu? Kenapa lu tidur disini?" tambah gue melihat koper biru tua miliknya. Tokichi kesakitan akibat cubitan gue. Gue suka melihat dia kesakitan tapi sayang, itu tak sebanding dengan rasa sakit gue waktu lalu.

"Mulai malam ini gue tidur di sini menggantikan Om Hendra."

"Papi gue?"

"Ya, beliau akan di luar kota bareng Ayah gue, butuh waktu lama."

Setelah gue tahu dengan jawabanya, gue pun khawatir dengan mamanya. Ternyata Tante Dara ada di rumah orang tuanya yang di Depok. Padahal gue ingin beliau menemani Momi gue. Eh, ternyata pergi ke Depok. Rumah besar itu pasti kosong, pikir gue, ternyata gue salah. Rumah mereka di huni oleh Pak Bondo juga tukang kebun. Kata Tokichi tetap ramai karena ada para pegawai dari rumah dia.

"Beliau di sana ngapain?" tanya gue mengarah ke mamanya.

"Mau ganti suasana, katanya karena keributan yang gue buat kemarin. Maafin gue...''

"Iya, nggak papa. Asal lu janji nggak ngulangin lagi." Kebingungan terlihat dari raut wajahnya. Tokichi memastikan kembali kesalahan yang mana yang masih teringat di kepala gue. "Sikap lu yang berubah-ubah itu gue nggak suka." Ungkap gue, membuat mata sipitnya terbuka karena dia mengangkat kedua alisnya.

"Itu semua karena lo, Ar!"

"Lo! Kok, gue. Lo lempar masalah, ya?" pekik gue yang tak terima dengan jawaban dia.

"Sorry, sorry... gue ganti nada bicara gue dulu. Sabar, Ar...jangan marah," katanya, meredam gue yang hampir saja naik pitam dengan mengelus tangan gue. "Lu yang minta, ya, agar cewek lain deket sama gue, ya, gue turutin. Padahal dengan adanya aturan yang pertama dari Ayah gue, gue bisa terus sama lu, karena gue tahu Dita bukan teman baik buat lu. Lalu saat lu kehilangan Dita gue ingin lu bahagia, lu malah ngikutin gayanya itu. Lu nggak cocok, lu cocok dengan gaya lu."

"Ok. Yang pertama, gue mulai terasa kalo ada yang aneh di Dita sedari dia kenalin gue ke lu. Ah, bukan, tapi sedari setelah MOS. Dari sini gue sudah tahu jawabannya dari Kak Sandi. Lalu, gue pilih Dita waktu itu karena gue nggak bisa percaya sama lu yang tukang tipu dan pengecut. Lu nggak bisa, kan, hidup tanpa grup besar buatan lu...?" sindir gue melotot dengan mendekatkan muka gue ke muka dia. "Yang kedua, gue nggak ikut gayanya, tapi dia dulu pernah minta itu ke gue. Nah, saat itu juga ingatan gue yang buat gue mau melakukannya, karena gue itu orang yang tidak suka ingkar. Tau lu!" seru gue menambah penjelasan dan menjawab keingintahuan Tokichi selama ini.

"Lu sadar nggak kalo Dita selalu dandan seperti itu?"

"Sadar, kenapa?"

"Itu tandanya sejak lama Dita ingin lu terlihat mengcopy gayanya, biar mudah mempermalukan lu lebih kejam lagi. Orang selama ini tahu lu jelek, buruk dan menghina lu kasar gara-gara siapa, coba? Ya, Dita. Paham lu! Lu nggak tau, kan, apa yang dia lakukan di belakang lu?"

"Eh," gue langsung tersadar saat dia berucap demikian.

"Masak lu nggak curiga saat dia meminjamkan buku fisika itu lalu saat lu dikeroyok di ruang teater itu? Itu semua agar dia terlihat seperti malaikat penolong lu, bodoh sekali lu. Polos! Padahal di belakang lu dia jelek-jelekin lu. Lu pikir sekarang, ya, nggak mungkin ada orang yang menghina lu, dan ngebenci lu jika bukan karena ucapan seseorang. Dan orang itu, pasti yang tahu seluk beluk lu lebih dari diri lu sendiri. Orang itu pula yang akan menambahkan bumbu kebencian pada orang lain. Agar ikut membenci lu, orang kek gini selamanya akan seperti itu terus, dan tidak memandang kebaikan lu sekecil apapun! Paham! Mikir, lu, sekarang, 'kan? Hem!"

"Ee-enggak," jawab gue terbata dan masih berpikir juga ragu terhadap diri gue sendiri.

"Yaudah, lah, emang susah bicara sama lalat. Orangnya juga sudah tiada." Terang Tokichi yang pasrah ke gue. Dia berubah pasif setelah itu.

Gue bilang, gue sudah ikhlaskan segala keburukan dia, juga keburukan semua orang khususnya teman-teman satu kelas gue. Tokichi akhirnya bicara, namun itu pembicaraan untuk mencari keuntungan dirinya sendiri. Memang gue memaafkan semua orang kecuali Tokichi, karena dia harus bertanggung jawab dengan ucapannya jika ingin menikah sama gue. Semua ini gue lakukan demi kematangan emosi dia juga kesabaran gue sebelum kita menikah.

"Gaya lu, ya, Ari... udah kayak sesepuh. Padahal pengetahuan lu cetek. Bedain orang baik sama enggak aja, lu nggak bisa. Ih, bodoh... bodoh," decak Tokichi ke gue dengan dongkol, dan gemas.

Gue hanya senyam-senyum mengikuti gaya dia yang seperti orang idiot. Ternyata Dita selama ini baik sama gue karena ada maunya. Dari pembicaraan malam ini, gue sadar bahwa gue salah paham menilai Tokichi selama ini. Yup, mereka dari awal memiliki grup yang dimana tidak ada gue di sana. Gue menganalisa kembali bahwa Tokichi mendekati Dita bukan karena ingin gue, atau memata-matai, atau sekedar mencari tahu tentang gue. Tapi, dia ingin melindungi gue dari Dita dengan caranya yang tersembunyi. Dan gue salah paham atas hubungan Tokichi dengan Naira. Salah gue juga yang lebih mendengarkan perkataan orang lain daripada bertanya pada Tokichi. Padahal dari awal gue sadar bahwa gue tunangannya. Andai dari awal gue lebih percaya pada Tokichi tidak akan terjadi kesalahpahaman ini. Jadi, selama ini sikapnya seperti itu karena dia ingin gue inisiatif bertanya duluan, karena hanya dengan begitu Tokichi akan merasa gue andalkan serta gue percaya sebagai pejantan. Gue belajar, tapi gue masih bingung kenapa dia tidak pernah ada untuk gue saat gue butuh dan jatuh malah sebaliknya? Gue masih terdiam, dan akan mencari tahunya sendiri.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang