2. Hukuman untuknya karena Gue

196 66 43
                                    

"Nah..."

"Apa?" tanya Dita.

"Pertanyaan seperti ini menjebak sebenarnya." Gue menatap teman gue ini dengan tersenyum kecil dan mengangkat kedua alis gue. Dia tak langsung membalas gue. Wajah Dita berubah datar menatap gue dingin. Jika awalnya percakapan kami akrab selayaknya teman lama, perlahan berubah menjadi kusut seiring perubahan ekspresi wajah Dita. Karena masih tidak ada jawaban, gue mencoba meringis ke arah Dita, dia tetap dalam ekspresi yang sama. Gue kembali menulis, cepat.

"Lo! Kok menjebak?" balas Dita terlambat, gue pun kembali melihat ke arahnya namun tidak segera menjawabnya sama seperti dia sebelumnya. Gue rasa dia sengaja melakukannya. Dia bertanya dengan mengangkat satu alisnya, dan perlahan ekspresi itu berubah menjadi sinis. Kawan mana yang sudah lama berteman dan tidak peka kepada hubungan pertemanan mereka. Gue hanya peka padanya sebagai orang terdekat gue, karena gue sayang sama dia dan hubungan pertemanan kita yang sudah terjalin lama ini. Perasaan bercampur baur antara, gue takut akan kehilangan Dita, dan sedih karena perubahan dia secara perlahan, buat gue menjadi sensitif dengan pertemanan kami.

"Lu... lu takut, kan, kalau gue meninggalkan lu gara-gara cowok? Gue tahu isi pikiran lu," persepsi gue yang mengarahkan ketakutan gue pada Dita. Gue memalingkan muka dan kembali menulis, mencoba mengabaikan perubahan dia. Gue sadar sepertinya gue mulai gelisah yang mana pada dasarnya ketakutan itu berasal dari diri gue sendiri. Lu pasti tahu rasanya tidak enak ini, dan gue yang tidak bisa jujur pada teman gue. Karena gue tahu, Dita mengenal gue sesuai yang dia kenal selama ini. Padahal gue hanya ingin mencari teman yang tulus saja, bukan karena status keluarga gue yang anak seorang jaksa agung. Dan selama ini gue yang ceroboh, frontal saat berbicara, kasar, dan masih banyak lagi, hanya Dita yang mau menerima kekurangan gue yang sengaja gue pamerkan. Pada dasarnya gue orang yang peka terhadap lingkungan sekitar gue dan orang-orang terkasih gue. Gue pun tidak tahu, apa yang mereka sebut kasar itu.

Dita menepuk pundak gue dan berkata, "really, lu bisa tahu isi pikiran gue?" gue kali ini tidak menatapnya, gue fokus menulis karena sedikit lagi pekerjaan rumah gue selesai.

"Ya, iya dong...lu pikir kita baru saja ketemu sehari dua hari? Kita ini sudah temenan dari zaman kakek buyut. Pantes gue bisa kenal sama imajinasi lu." Kata gue dari persepsi menjadi kebenaran.

"Lebay amat, Kakek buyut. Baru juga sepuluh tahun?!" gue terkejut dengan balasannya. Gue memergoki Dita memanyunkan bibir ke arah gue lalu dia memalingkan muka, tulisan gue selesai. Dia tak sadar gue menatapnya, perasaan gue aneh ke Dita kali ini, tapi gue abaikan itu, mungkin saja gue yang baper.

"Sama aja kali," kata gue bermanja ke teman gue ini. Dita tersadar, dia kembali melemparkan senyum datar ke gue, mungkin karena gue yang selalu telat merespons dia sedari tadi, tapi dia duluan yang melakukanya. Gue telat merespons karena berpikir dulu sebelum gue bicara ke Dita. Dita sendiri yang berkata kalau perkataan gue kasar. Gue pun membalasnya dengan tersenyum lebar sampai membuat kedua mata gue menyipit. Sebisa mungkin gue mencoba untuk tidak menunjukkan perasaan terdalam gue ke dia.

"Terus...apa jawaban lu misal dijodohkan?"

"Ya gue, harus menolak dong. Tapi-"

"Harus ada tapi," potong Dita bertanya dengan mengernyitkan dahi, satu alis diangkat. Gue melihat jelas sikapnya. Gue yang sadar Dita sepertinya mulai menemukan kegelisahan di dalam diri gue, segera gue perbaiki posisi gue dengan memegang kedua pundak Dita, dan melebarkan kedua mata gue sambil tersenyum. Gue memperbaiki gerak mimik bicara gue agar tidak terlalu kaku ke Dita.

"Ya iya, lah, tapi kalau dia anak orang tajir gue mau dong. Bodoh kali gue nggak mau, hehe. Siapa juga yang mau jadi babu," balas gue dengan melebihkan statement gue, bernada bercanda ke Dita. Gue tersenyum kecil ke Dita, tapi dia kembali menatap gue datar.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang