28. Kemenangan Gue

19 10 0
                                    

Tepat pada besoknya di hari ujian keempat gue mengikuti turnamen. Gue grogi abis, karena ini dadakan, tapi gue harus terima resiko apapun. Selama ini gue sudah latihan dengan baik, dan tinggal membuktikan saja di sesi perlombaan umum. Karena mengikuti turnamen, gue jadi tidak bisa melanjutkan sesi ujian. Gue mendapatkan pesan bahwa gue harus mengikuti ujian susulan untuk kenaikan kelas. Pesan itu gue baca sebelum perlombaan dimulai. Hal ini telah disetujui oleh seluruh pihak.

"Duak, dash!"

Suara pukulan baik tinju maupun tendangan kaki saling mengarahkan pada tubuh kami satu dengan yang lain. Lawan gue seorang cowok yang jauh lebih tinggi dari gue dan badanya cukup berisi. Cowok itu melihat bekas luka di sekujur jari-jari gue. Dia seperti Mas Galih kurang lebih posturnya namun, tak setampan si anak kepala sekolah.

"Huh, petarung juga," cicit dia lirih, tatapan bak ular setiap serangan dia mengarah ke organ vital. Namun, gue bisa menghindar, sepertinya lelaki ini memang mencari kelemahan lawan dengan demikian. Caranya terlalu klasik namun benar.

"Gue terdesak uang, bukan the real-nya petarung," balas gue dan tetap memukul serta menangkis setiap pukulan dan tendangan.

"The real petarung? Haha!"

Akibat tawanya, wasit pun ikut bingung dan memukul pundaknya sambil meniupkan peluitnya. Karena tiupan peluit sang wasit telinga gue berdengung, seperti saat terkena teriakan Dita. Gue pun terbawa kembali ke dalam ingatan masa itu hingga buat gue tidak fokus, dan hampir saja kalah. Lawan bersiap memukul ke bagian kepala gue—oi-zuki-jodan, gue segera menyadari serangan lelaki itu dengan menggunakan tangkisan agi-uketangkisan kepada lawan gue—pukulan dari arah atas. Lawan lanjut bersiap menggunakan teknik morote-zuki yang berfungsi memukul lawan dan terus mendorong ke belakang, sedangkan morote-uke cukup membantu gue dalam menangkis setiap serangannya.

"Dash!"

Suara tendangan kaki gue—ushiro-geri yang membuatnya mundur dari posisi awal namun tak menyentuh jogai–batas—matras terluar. Saat gue menemukan celah—lawan yang mulai goyah, gue terus memojokkan lelaki itu dengan tendangan berkali-kali: tendangan atas, tendangan samping, dan tendangan yang di sodok. Sampai tiba saat gue melayangkan pukulan terakhir gue, oi-zuki-chudanpukulan ulu hati, dia membalas gue berkali-kali lipat dengan pukulan yang sama namun dengan kekuatan yang jauh berbeda dari gue. Shuto-uchiserangan tangan pedang—mengarah ke gue—gue belum siap dengan posisi tak balance, lawan gue berhasil mencengkram pundak gue, dan akan membanting gue—gue tak bisa menghindar lagi. Gue kira dia akan memukul di bagian atas namun perkiraan gue salah.

"Bruk!" badan gue terjatuh di matras. Gue bangkit, kita saling memberikan serangan yang seimbang dan berkali-kali jatuh. Gue sadar, gue tidak fokus, gue harus perbaiki dan bangkit. Keringat gue perlahan berjatuhan dan mengalir di sekujur tubuh gue. Gue membalas dengan membanting dia juga menendang dia tepat di kakinya. Karena gue mulai sadar bahwa lelaki ini sumber kekuatannya ada di kaki. Sampai di tendangan terakhir gue, dia kalah.

Gue tidak menyangka, gue bisa kalahkan dia. Gue tersenyum bahagia dengan luka lebam di mata dan bibir gue, kami saling bertatapan dan memberikan penghormatan terakhir sebelum pergi dari lantai seluas 8x8 meter itu.

Gue berasa masuk novel di Wattpad yang gue baca, tokoh utamanya beruntung terus, ya, mau gimana lagi, penulis yang menentukan kisah. Kita itu apa, lakon saja.

Seharian penuh turnamen itu diadakan, gue setia menunggu, Tokichi WhatsApp gue— memberikan foto soal ujian hari ini ke gue, tak sengaja gue tersenyum saat melihat usahanya. Gue hargai usaha dia, dan mempelajari soal ujian hari ini untuk ujian susulan gue. Toh juga, gue tidak masuk kelas hanya sehari saja. Gue terfokus kembali pada turnamen hari ini saat pemenangnya akan segera di umum.

END|| Tori Romance || •Djaduk✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang