Untuk Hari Sepi

27 6 0
                                    

Happy reading

....

Clarina datang lagi kesini, ke sebuah tempat yang setiap ia datangi kakinya berubah menjadi begitu lemas. Tempat sepi nan teduh yang sebenarnya tak mau terus ia datangi. Karena saat ia datang lagi dan lagi kesini adalah saat dimana ia sudah begitu tak mampu menahan rindu.

Clarina tak sendiri kesini, di dekat kakinya, anak laki-lakinya duduk begitu saja bermain-main dengan rerumputan. Anak laki-laki yang hampir berusia dua tahun. Sementara di tangan Clarina ada seikat bunga krisan.

Ia maju dua langkah dan menaruh bunga itu pada sebuah pusara makam, Edwin.

"Cinta yang kau berikan kepada kami sungguh sangat membekas dan meninggalkan jejak yang begitu dalam. Tapi aku dulu pernah berpikir Ayah, aku tidak bisa membutuhkanmu lagi meskipun aku sangat membutuhkanmu. Aku belajar menjadi anak perempuan tertua yang mandiri."

Clarina tertunduk memandangi pusara yang menjadi pembatas antara dunianya dengan dunia sang Ayah.

"Dan di saat seperti ini aku lagi dan lagi harus menguatkan diri ku. Aku membutuhkan ketenangan, apakah Ayah tahu dimana Danar sekarang? Apakah dia baik-baik saja.."

Clarina tahu ini tak akan menghasilkan apapun tapi percayalah berbincang dengan Ayahnya seperti ini sedikit demi sedikit mengobati dukanya dan memberinya rasa aman dan tenang.

Clarina tersenyum lalu duduk di atas rumput di sana sekaligus menarik putranya untuk duduk di atas pangkuannya.

"Biasanya aku mengeluh kepadamu atas kenakalan-nakalan Elang, Gumilang, dan Harissa. Mengeluh tentang seberapa seringnya aku bentrok dengan pemikiran Kak Angga meski dia benar, mengeluh tentang Bada yang kadang terlalu baik kepada orang lain, dan tentang Florence yang tak begitu betah di rumah selalu ingin jalan-jalan. Aku tidak pernah mengeluh atas nama Danar.. "

Clarina menegakkan pundak dan lehernya. Tangannya perlahan-lahan menepuk paha anaknya yang mungkin mulai terlelap karena teduh dari angin yang menerpa.

"Setiap dari kami punya kelelahan masing-masing, setiap dari kami punya luka dan rasa sedih. Dan bodohnya aku baru sadar ayah.. Ada perbedaan di antaranya."

"Para bungsu, mereka bisa bicara dan mengeluhkan semuanya kepada kami anak tertua atau Mama. Dan anak-anak tertua itu seperti aku dan Bada masih terkadang mengeluh kepada Mama, dan Kak Angga..memilih diam dan menepis semua. Danar paling berbeda, dia diam, menelan paksa lukanya, sembuh sendiri dan menerima semua kesalahan dilemparkan kepadanya. Kesalahan bermain piano saat kau sekarat, kesalahan merayakan ulang tahunnya saat kau tiada, kesalahan karena dia pura-pura tak mahir bermain piano setelah kau tiada. Danar.. berjuang sendiri di tengah ramainya keluarga. Dia memilih berlari sendiri dengan pecahan kaca di telapak-telapak kakinya. Tak ada yang memeluknya.. "

Anak laki-laki dalam pangkuannya baru saja akan terlelap tapi matanya terbuka kembali ketika sebuah air mata jatuh di atas hidungnya.

"Danar sudah sangat menderita saat kali pertama ia meyakini bahwa tanggal lahirnya adalah kesedihan untuk kita."

••••

Pagi ini Vivienne sekeluarga dikejutkan dengan kabar kedatangan seseorang yang menurut Vivienne sangat tidak mungkin datang kembali ke hadapannya.

Kehadiran yang mampu mengubah suasana ruang tamu menjadi sangat kaku dan juga tegang. Angga bahkan saat ini benar-benar menjaga sikapnya agar tak dibaca oleh orang yang duduk dengan wibawa sana.

"Tuan Besar Mayori."

Seorang pria paruh baya yang masih tegap sempurna meskipun rambut dan jenggotnya memutih, matanya masih tajam.

Dear Danar : Tentang caramu melihatku. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang