AAH : 12

50 1 0
                                    

Selamat malam kalian...

Jangan lupa bintangnya ya kak...

****

Arya menatap jenuh ke langit-langi ruang inap nya, fikirannya terus berkelana kemana-mana, terutama kapan dia akan pulang dari tempat berbau obat ini, dia sudah sangat bosan di ruangan ini.

Ruangan yang tadi nya rame, sekarang berubah menjadi sepi. Anak Bontrax yang tadi menemani Arya pamit mencari makan di luar, dan inti pengurus Bontrax akan datang nanti malam.

Arya menghela nafas panjang, rasanya dia sudah sangat merindukan kasur empuk serta guling di rumahnya. Sudah empat hari dia berada di ruangan serba putih ini, namun sama sekali belum ada tanda-tanda dia boleh pulang.

Di tengah lamunannya, pintu ruangannya terbuka, membuat tatapan Arya menujuk ke arah pintu masuk. Di kira nya anak Bontrax sudah kembali, tetapi saat melihat orang itu, tatapan Arya seketika terpaku.

Bagaimana itu bisa terjadi? Katakan padanya jika itu hanyalah sebuah mimpinya saja.

Gadis berambut psebahu dengan bandananya berjalan menghampiri brankar Arya.

“Hai,” sapa Dina pertama kali ketika gadis itu berada di samping Arya. Dia melepas maskernya, menunjukkan seluruh wajah cantiknya.

“Apa kabar, Ar?” tanya nya, dia melempar senyum ramah.

“Ini beneran lo, Din?” seperti pertanyaan konyol memang, tetapi itu reflek keluar ksaat dalam keadaan grogi.

“Pertanyaannya konyol banget,” jawab Dina seraya terkekeh pelan.

Lagi-lagi Arya terpaku melihat perempuan berbanda di depannya, bisakah Arya tidak bangun jika ini hanya sebuah mimpi? Sudah berapa lama dia tidak melihat senyum perempuan di depannya?

“Jangan keseringan melamun Ar, nanti lo jadi keserupan,” kata Dina ketika kembali mendapati Arya melamun.

Arya tersadar, berdeham untuk mengurangi rasa groginya.

“Kaget aja, lo tiba-tiba jengukin gue, benar-benar di luar dugaan,” kata Arya, matanya seakan terkunci pada wajah Dina.

“Jadi mantan gak harus musuhan, kan?”

Tidak, pemikiran ini baru muncul setelah mendapat penjelasan dari teman laki-laki di depannya. Awalnya, Dina memang sangat menghindari bahkan seolah tak perduli pada Arya, bahkan tak pernah bertegur sapa dengan laki-laki itu semenjak mereka putus.

“Tapi, kalau menurut lo kesalahan gue fatal, lo bisa jadiin gue musuh lo, Din.”

Dina kemudian menggeleng dengan cepat, “Kesalahan itu tercipta karena kurangnya komunikasi dan rasa percaya dari masing-masing manusia Ar, jadi lo ataupun gue, sama-sama salah.”

Sorry Din.”

Dina tersenyum, “Its okey Ar, tidak usah membahas masalalu lagi, biar saja dia berada di belakang dengan kenangannya masing-masing,” kata Dina membalas tatapan Arya. “Lo sendiri di sini?”

Arya menggeleng, “Anak Bontrax lagi cari makan di luar.”

Dina memgangguk, sangat tidak memungkinkan jika Arya akan sendiri dalam waktu sehari.

“Udah makan?”

Arya menggeleng sebagai jawaban. Kalau boleh jujur, dia speachles melihat keberadaan perempuan yang dulu pernah menjadi cinta bagi Arya.

“Gue bawa makanan kesukaan lo,” kata Dina menunjukkan kanton kresek yang berada di tangannya, parcell buah dia simpan di nakas. “Mau gue siapin?”

“Kalau tidak merepotkan,” kata Arya, berusaha menghindari kontak mata Dina.

“Tidak sama sekali,” setelahnya, Dina mengeluarkan sebuah mie ayam dari kantong plastiknya, mengambil piring mangkok di atas nakas.

Arya terus memperhatikan Dina yang menyiapkan makan untuk nya. Dia tersenyum simpul, perhatian itu kembali, lalu apakah hubungannya dengan gadis berbanda itu bisa kembali juga?

Kata orang, jangan terlalu berharap terhadap manusia, karena hasilnya akan menyakiti jika tidak sesuai. Tetapi, entah kenapa Arya ingin terus berharap untuk kembali pada hubungannya dengan Dina.

Wajah Dina seolah magnet, sangat susah untuk Arya berpaling. Si cantik dengan rambut sebahunya, entah lah, Dina memang senang dengan rambut pendek sejak dulu. Dan, itu menjadi ciri khas dari Dina.

“Berhenti natap gue gitu Ar,” tegur Dina ketika selesai menyiapkan makanan Arya.

Arya terkekeh, “Lo tambah cantik, Din.”

“Padahal kita satu kelas, dan lo baru tahu?”

Arya mengangguk, “Itu karena lo yang selalu menghindar.”

“Bukan gue, tapi lo yang gak pernah masuk kelas.”

Arya mengangguk membenarkan, alasan dia jarang masuk ke kelas karena Dina. Dia tidak ingin perasaannya membuncah ketika melihat gadis itu, tidak ingin membuat Dina semakin menjauhinya karena di dekati terus oleh Arya.

“Gak usah bengong mulu, makan tuh,” kata Dina menunjuk mie ayah di atas nakas.

“Gak ada sesi suap-suapan?”

“Gak usah ngekunjak, Ar,” balas Dina kemudian berbalik membuang plastik bekas mie ayamnya.

Arya terkekeh, mengambil mie ayam itu di atas nakas. Keadannya memang sudah lebih baik dari sebelumnya, hanya tersisa kaki nya yang masuh dalam proses terapi.

****

Bagas duduk di ruang tamu dengan pakaian yang amat santai. Laki-laki itu berfokus pada ponsel di tangannya, sudah sejak dari tadi.

Tangannya terus bergoyang untuk mengetik, sangat lincah sekali. Dia seperti orang gila yang terkadang tersenyum sendiri, entah apa yang dia baca dari ponselnya, yang sudah jelas pastinya Bagas sedang bertukar pesan dengan sosok kesayangannya, mungkin?

Rumah nya dalam keadaan sepi, Rangga belum pulang karena sedang ada pelatihan basket, sedangkan Ayahnya belum pulang dari kantor.

Bundanya? Entah apa yang wanita itu lakukan di dalam kamar, mungkin sedang beristirahat.

“Bagas,” panggil Mira

Bagas menoleh ke arah Bundanya yang berdiri di samping sofa tempat nya duduk. Cowok itu mematikan ponselnya, kemudian bertanya, “Kenapa, Bund?”

“Bunda boleh minta tolong gak?”

“Apa itu?”

“Beliin Bunda pembalut ya, soalnya stok punya bunda habis,” katanya, sebenarnya dia tidak enak untuk meminta Bagas untuk membeli hal seperti itu.

Bagas mengangguk. Dia bangkit dari duduknya, menatap Mira di depannya. “Bunda pakai merk apa?”

“Protex yang bersayap,” beritahu Mira. “Tapi beneran gak apa-apa kan Bunda nyuruh kamu?”

Bagas mengangguk, “Gak apa-apa Bun, cuman beli, gak bakalan di pakai juga.”

Mira tersenyum, “Terimakasih ya.”

Bagas mengangguk, kemudian beranjak pergi meninggalkan ruang tamu dan Bundanya sendirian.

Bagas memang bukan tipikal orang yang gampang malu hanya karema membeli kebutuhan perempuan, selagi baginya bukan untuk dia  pakai, tidak ada kata malu untuk itu.

Lagi pula, kedepannya dia akan mempunya seorang istri, yang sudah pasti istrinya akan mengandalkan dirinya, termasuk membeli hal-hal yang sangat sensitif untuk laki-laki.

Bagas memasuki mini market yang tidak terlalu jauh dari komplek rumahnya. Dia berjalan ke arah rak khusus pembalut wanita, dia melihat gambar yang di kirim Bundanya, kemudian mencari yang persis dalam gambar tersebut.

“Bagas?”

Bagas kemudian menoleh ke samping, mendapati wanita paruh baya dan seorang gadis seumurannya.

Cowok itu tersenyum ramah, “Hai tante.”

“Lama gak ketemu, kamu makin gede makin ganteng aja, ya,” pujinya memukul pelan lengan Bagas.

“Makasih tante.”

“Bunda mu apa kabar?” tanya wanita paru baya itu.

“Alhamdulillah baik.”

“Tante titip salam aja, ya,” katanya, raut wajahnya terlihat sangat riang bertemu dengan Bagas. “Kamu bukannya satu sekolah ya sama Nadine?”

Bagas melirik sekilas Nadine yang tersenyum ke arahnya, matanya berbinar menatap Bagas.

“Iya tante, kita satu sekolah,” jawab Bagas, tetap tersenyum.

“Kalian gak akrab? Kok gak saling sapa?” tanya mami Nadine.

“Kurang akrab Mi,” jawab Nadine, melirik maminya di samping.

Hana selaku mami Nadine kemudiam mengangguk mengerti, “Padahal waktu kecil kalian akrab banget loh, sampai hampir kita jodohin,” entah itu sebuah candaan atau memang Hana sedang bernostalgia ke masa lalu.

“Itu waktu kecil Mi, kita udah remaja sekarang, jadi wajar kalau gak akrab,” jawab Nadine dengan cepat ketika melihat raut wajah tak nyaman dari Bagas.

Nadine bukan tipikal orang yang egois, padahal  untuk mendapatkan Bagas, dia bisa melakukannya dengan gampang melalui jalur orang tua mereka. Tetapi dia tidak ingin bersama Bagas tanpa perasaan laki-laki itu.

“Berharap gak apa-apa kan, kali aja kalian berdua jodoh.”

“Udah Mi, jangan bahas itu lagi,” kata Nadine semakin tidak enak pada Bagas.

“Saya sepertinya harus pamit lebih dulu, tante. Bunda udah nelfon,” katanya memberi alasan yang tepat.

“Oh iya, titip salam ya buat Bunda kamu,” kata Hana

Bagas mengangguk, “Iya,” kata Bagas kemudian menunduk sopan sebelum menjauh dari keduanya.

Nadine menatap punggung besar itu yang semakin menjauh, setidak nyaman itu kah Bagas jika berusaha di sandingkan dengannya? Dia menghela nafas panjang, tatapannya menunjukkan kekecewaan.

“Bagas ganteng ya, andai saja kalian mau di jodohin, Mami pasti senang banget dapat menantu seperti Bagas,” kata Hana. Bagas itu termasuk tipe menantu ideal setiap ibu-ibu, ganteng dan sangat penurut.

“Ini bukan zaman siti Nur Baya Mi, pakai di jodohin segala,” katanya.

“Andai bisa, Nadine juga mau Mi di jodohin,” lanjut Nadine dalam hatinya.

****







ALL ABOUT HIM!  (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang