Permohonan

1.7K 60 20
                                    

Ketika sampai kos, Arfin melihat mamanya sedang duduk di lantai teras, dikerumuni oleh teman-temannya. Didi sedang menceritakan rumor apa saja di sekolah tentang Arfin. Diana dan teman-temannya mendengarkan dengan sesama.

"Woi! Nggak jadi pada futsal? Kok malah ngumpul di sini?" seru Arfin setelah meletakkan sepedanya di halaman. Tadi setelah mendapat telepon dari Diana, Arfin langsung memutuskan untuk pulang. Dia memesankan taksi online untuk Marsha pulang dan selama perjalanan ke kos, lewat aplikasi dia memantau pergerakan Marsha sampai ke rumah dengan selamat.

"Lo sih ditungguin dari tadi nggak nongol-nongol! Pacaran mulu!" Didi sewot.

"Udah si Mblo, bilang aja lo ngiri," bela Ridho yang dibalas tatapan maut oleh Didi.

"Kamu habis sama Marsha?" tanya Diana. Dan sebelum Arfin menjawab, Awan mengisyaratkan teman-temannya untuk masuk ke dalam rumah kosnya, demi menjaga privasi ibu dan anak itu.

"Iya," jawab Arfin setelah tidak ada lagi yang menginterupsi mereka. "Ngapain Mama ke sini?"

"Lho, Mama nggak boleh nengokin anak mama sendiri?" Diana mengernyit, seolah-olah pertanyaan Arfin adalah pertanyaan paling aneh yang pernah dia dengar. Sebenarnya Arfin malu mamanya datang karena pasti setelah ini dia akan diledekin anak mami oleh teman-temannya. Mamanya tidak akan mengerti.

Mata Diana menyapu halaman kos yang tidak begitu luas, lalu menyidik tiap kamar sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Ikut Mama pulang, yuk."

"Nggak," Arfin menggeleng cepat.

"Di sini sempit, pengap. Kalau nggak mau pulang, ya udah nggak papa, tapi kamu tinggal di salah satu rumah kita, ya? Di Kemang atau Pondok Indah? Atau di apartemen dekat sini aja?" bujuk Diana. Sebelum Arfin datang, dia sudah melihat-lihat isi kamarnya. Sungguh tidak layak. Tidak ada perabotan apapun selain kasur lantai dan lemari. Luasnya juga tidak ada apa-apanya dari paviliun di rumah mereka.

"Biar ditertawai Hermawan?"

Diana mengusap lengan anak semata wayangnya itu. "Fin, walau gimanapun dia itu tetap papa kamu. Dan papa kamu nggak serius waktu minta kamu pergi...."

"Dia serius," sanggah Arfin. "Dia pikir aku butuh dia dan itu mengharuskan aku jadi bonekanya. Bonekanya, Ma. Bukan anaknya."

"Bukan begitu...." Diana menghela napas. "Kalau kamu nggak mau uang Mama sama Papa, gimana kamu bisa hidup? Bayar kos, sekolah, buat makan...."

"Aku bisa kerja." Arfin berucap yakin. "Kalau perlu aku bisa berhenti sekolah."

Air mata Diana menetes membayangkan hidup anaknya yang harus bekerja saat usianya masih dibawah umur. Berkawan dengan orang-orang yang usianya jauh lebih dewasa dibandingkan dia. Padahal dari Arfin kecil, Diana sudah bertekad akan membuat hidup anaknya senormal anak-anak seusianya.

"Mama ingin kamu bahagia, Sayang...." ucap Diana lembut.

Mengerti apa yang dikhawatirkan mamanya, Arfin menggenggam tangan mamanya untuk menenangkan.

"Bahagia itu pilihan, Ma." Saat melihat Mamanya menggeleng, Arfin melanjutkan, "Dan keputusannya ada di tangan kita."

Diana berdecak tetap tidak setuju. "Kamu ngomong gitu karena belum lama di sini sendirian. Pokoknya Mama nggak mau kalau kamu sampai harus putus sekolah." Dan saat itu juga tiba-tiba Diana mendapat ide cemerlang.

"Gimana kalau kita ke Jepang? Kita tinggal bareng Nenek," bujuk Diana.

Arfin tercenung, sama sekali tidak menyangka bahwa mamanya bisa mendapatkan ide yang tidak pernah sekalipun terbersit di pikirannya.

The Prince's Escape [Season#2 END✅]Where stories live. Discover now