Puisi Rahasia untuk Arfin

1.3K 54 53
                                    

Kram perut Marsha sedikit mereda setelah setelah seharian dia cuma rebahan dan sudah berkali-kali ganti pembalut. Dia baru saja membuat jahe hangat lalu bergabung bersama ayahnya di meja makan, melihat Beliau dengan lahap makan nasi pecel lele yang dibeli di kaki lima.

Entah kenapa detik itu juga Marsha merindukan sosok mendiang bundanya. Kalau bundanya masih hidup, hidupnya dan ayah mungkin akan jadi lebih mudah. Saat sedang haid begini, pasti bundanya akan selalu mengingatkan bagaimana menghadapi saat sedang deras-derasnya, atau dia bisa bermanja-manja minta bundanya mengelus-elus perutnya yang kram, atau hal-hal indah yang lainnya. Mana mungkin dia bertanya soal haid ke ayahnya. Selain malu, mana mungkin sih ayahnya tahu soal beginian? Selama ini Marsha hanya mencari tahu lewat internet.

"Yah," panggil Marsha.

"Mmm?"

"Ayah pernah mikir mau nikah lagi nggak sih?" Marsha tiba-tiba iseng bertanya. Tapi dia tidak pernah menyangka, bahwa reaksi ayah akan seheboh itu. Ayah sampai tersedak nasinya dan terbatuk-batuk. Ayah segera minum banyak-banyak sampai batuknya reda.

"Pelan-pelan, Yah, makannya..." ucap Marsha, khawatir.

"Kamu tuh, pertanyaannya aneh."

"Kenapa? Ayah sama sekali nggak pengen gitu?" Marsha melanjutkan. "Kalau ayah nikah lagi kan jadi ada yang ngurusin?"

Mata Ayah menerawang, melihat bingkai foto mendiang istrinya di dinding tepat matanya terarah ke depan. "Mana ada yang bisa gantiin bunda di hati Ayah? Kan ada kamu juga yang bisa ngurusin Ayah."

Marsha berdecak. "Kan beda, Yah...."

"Udah, Ayah nggak mau bahas itu. Ayah mau habisin makan dulu."

Mendengar Ayah tak mau menggubrisnya, bibir Marsha manyun seketika. Tapi itu hanya sebentar. Bibirnya langsung merekah ketika smartphonenya di meja berbunyi, dan matanya menangkap nama Arfin yang mengiriminya chat. Namun begitu membukanya, dahinya berkerut saat berusaha memahami isinya. Pesan yang diforward dari suatu tempat itu menyampaikan bahwa Arfin diterima sebagai karyawan magang di perusahaan milik Om Ares.

Akhirnya paham, Marsha memekik kegirangan seolah-olah dialah yang diterima kerja sampai Ayah dibuat keheranan dengan tingkahnya. Dan beberapa detik kemudian, smartphonenya berdering lagi, Arfin memintanya mengangkat sambungan video callnya. Marsha Buru-buru menuju kamar untuk mendapatkan privasi saat berbincang dengan Arfin. Dia duduk di meja belajar lalu mengangkatnya. Langsung nampaklah wajah Arfin yang memukaunya meski hanya bisa dia lihat di layar smartphone yang begitu adanya.

Marsha tersenyum lalu melambaikan tangan. "Hai A', lagi apa?"

"Ini lagi di kantornya Pak Ares," jawab Arfin. Marsha memang baru ngeh kalau Arfin sedang memakai kemeja putih sekarang.

"Langsung mulai kerja?" tanya Marsha.

"Iya. Gimana perutnya udah enakan?"

Marsha mengangguk. Pipinya kembali memerah saat teringat kejadian memalukan siang tadi di sekolah. "Maaf ya, gara-gara itu jadi nggak bisa ketemu mama kamu."

"Nggak papa," jawab Arfin. "Kamu lagi apa?"

"Lagi mau ngerjain PR sih." Marsha mengeluarkan buku PR Matematikanya dari dalam laci yang ternyata buku kumpulan puisinya yang bertumpuk di atas buku itu ikut keluar juga. Marsha menyingkirkan buku kecil itu lalu membuka buku PR-nya. "Kamu sendiri ada PR nggak? Pulang jam berapa nanti?"

"Jam sembilan."

Marsha mengecek jam weker di sebelah lampu mejanya dan melihat jarum jam menunjukkan pukul 7 malam. Masih ada waktu 2 jam sebelum Arfin pulang.

The Prince's Escape [Season#2 END✅]Where stories live. Discover now