BAGIAN 024

214 24 59
                                    

Angin musim gugur telah menunjukkan eksistensinya semakin nyata. Segar dan menyejukkan. Sayang, Barcode hanya bisa menghela napas saat ia keluar dari kelas.

"Are you okay?" Tanya Dawn. "You looks unwell."

"Yes, I am," jawab Barcode. "Do you have a boyfriend?"

"What?"

Barcode embus napasnya lagi, "nothing. I go first."

Remaja enam belas itu langsung melangkah pergi. Barcode sesungguhnya masih merasa kesal pada Jeff. Pria dua lima itu membujuknya untuk tinggal di apartemen, atau bagaimana setiap mereka bertemu Jeff selalu mengajaknya tidur di sana. Dan tadi pagi, saat dirinya sendiri mengajukan diri—dengan sangat suka rela, Jeff malah mengusirnya.

Barcode tahu dia tidak bisa menuntut lebih dengan status hubungan tanpa nama yang keduanya miliki. Dirinya bisa dikatakan tidak memiliki hak apa pun atas Jeff, sama seperti yang ia katakan pada Jeff beberapa waktu lalu. Tapi, sebagaimana Jeff menuntut padanya, dia pun menginginkan hal yang sama itu.

Bunyi kunci pintu yang terdengar serat itu menarik pendengaran Barcode. Kembali ia mengembus napas sebelum akhirnya membuka daun pintu. Remaja itu tiba-tiba saja menahan napasnya kala mendapati makhluk berbulu hitam kembali ada di dalam kamar tidur asramanya.

"Dari mana kamu masuk?!" Seru Barcode bercampur bingung. Ia taruh tasnya di atas meja belajar, lalu mengambil kucing yang tampak lelap di atas tempat tidur. "Bagaimana kamu bisa masuk?" Tanyanya, kucing itu hanya mengeong dengan malas, kemudian melompat kembali ke atas tempat tidur.

Jendela menjadi pusat atensi Barcode. Ia yakin, kemarin dirinya sudah menutup rapat sebelum pergi dari kamar asramanya. Keningnya mengernyit kala mendapati jendela kamarnya benar-benar tertutup dan terkunci. Terlempar manik itu pada kucing hitam yang kini kembali lelap dengan dengkurnya yang tipis, entah darimana dirinya datang.

Barcode dengan tidak teganya mengambil kucing itu, lalu mengeluarkannya ke depan pintu.

Meooow.

"Jangan masuk lagi," kata Barcode pada kucing hitam yang menguap lebar dengan matanya yang masih terlihat berat terjaga. "Aku enggak punya makanan buat kamu. Aku juga enggak mau ada hewan bersamaku."

Meooow.

Barcode tutup rapat daun pintunya, menimbulkan derit dan debum yang sedikit nyaring. Remaja enam belas itu membuka ponselnya, di sana pesan dari Jeff muncul paling atas. Pria itu menanyakan apakah perkuliahannya sudah selesai, apakah dirinya sudah makan siang, tapi Jeff melewatkan satu hal. Dia tidak bertanya, apakah dirinya masih marah atau tidak.

Pesan-pesan itu hanya Barcode baca hingga menimbulkan sebuah dering panggilan masuk. Ia tidak mengangkatnya dan memilih untuk membuka tablet serta buku catatannya. Dia akan libur selama dua hari besok, tapi Barcode tetap akan mengulang apa yang ia pelajari hari ini. Barcode selalu melakukannya sejak sekolah dasar, seperti apa yang Mile ajarkan.

Tiba-tiba saja Barcode ingin menelepon Mile. Ia menjadi penasaran kenapa Mama Apo bisa salah, bukan Mile dan Apo melainkan Bible dan Nene.

"Mama dan Papa Phi Jeff menyayangi aku, menyayangi Phi Po. Mereka seperti Mama dan Papa. Aku beruntung," katanya pelan. "Tapi, tetap saja aku merasa takut kalau Phi Jeff pergi."

Ponsel remaja itu kembali berdering, nama Stranger masih menjadi nama yang muncul di layarnya.

"Stranger ...." gumam Barcode. "How if we were strangers until now?"

Barcode embus napasnya, lalu mengambil ponsel yang deringnya berakhir. Sebelum Jeff kembali menelepon, dirinya menelepon lebih dulu.

"Nong kesayangan Phi Po!"

Stranger | JeffBarcodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang