[CHAPTER 13]

20.8K 493 24
                                    

Nggak terasa, tapi akhirnya sudah seminggu berlalu sejak kami pindah ke Kosan Mega.

Selama seminggu ini, ada beberapa perubahan yang gue rasain. Pertama, ternyata Mbak Mega nggak seliar pikiran gue. Dia emang sering membicarakan tentang kemurnian susu gantung, tetapi dia beneran nggak bakalan menyerang jika empunya susu tidak mengizinkannya menikmatinya secara langsung—oke, gue jujur ngerasa sedikit tenang.

Lily juga mulai menunjukkan sifat galaknya dengan lebih terang-terangan tiap Mbak Mega menawarkan pembayaran opsional yang bahkan belum jatuh tempo. Shannon masih sama, sering lelet. Penghuni-penghuni kosan lain juga sibuk dengan urusan mereka sendiri.

Setelah dipikir-pikir, ternyata gue bisa bosan juga sama libur sekolah yang panjang banget. Mungkin karena ini ngingetin gue sama liburan panjang nan traumatis ketika pandemi Covid-19 menyerang.

Baru ingat kejadian itu aja, gue langsung dilanda trauma yang teramat sangat. Waktu itu gue masih SMP 2, bahagia karena dapat libur 2 minggu ketika musim ujian mid-semester. Siapa yang nyangka kami bakalan libur sampai 2 tahun? Alhasil gue dan kedua temen gue berasa kayak long distance friendship, padahal masih tinggal di kota yang sama.

"Kalian udah mulai nyiapin berkas buat masuk kuliah ya?" tanya Kak Aira.

Seperti biasa, hanya Kak Aira, Kak Hani dan Mbak Mega yang di kosan. Mbak Mega dan Kak Hani sedang di kamar mereka masing-masing, sementara Kak Aira barengan sama kami di ruang tamu. Setelah seminggu berlalu, kami lebih sering berkomunikasi dengan Kak Aira yang memang selalu stay di kosan 24/7.

Setelah mempertimbangkan kegunaan jangka panjang, kami bertiga berencana buat beli printer. Mahal sih kalau musti print-print mulu. Awalnya kami sepakat nantinya bakal naruh printer di kamar Shannon (karena kamarnya di tengah), tapi kami kecurian start, karena Mbak Mega yang memutuskan buat beli printer, karena katanya dia juga perlu print beberapa dokumen beberapa bulan ke depan.

Belakangan ini, gue baru tahu kalau Mbak Mega nggak hanya mengandalkan pemasukannya dari sewa kosan, tapi dia juga seorang freelancer dan trader saham. Mbak Mega kelihatan cukup mandiri dan sukses kok, asalkan dia nggak berkelakuan kayak bayi yang kelaparan susu ibunya.

Jadinya, sekarang ada tambahan printer di ruang tamu. Masih tipe printer jadul yang harus pasang-colok kabel, tapi bisa dipakai oleh semua orang yang memiliki akses. Tapi lumayanlah, kami nggak perlu pusing lagi masalah copy dan cetak.

"Iya, Kak. Nanti siang kami mau ke kampus buat ngumpulin dokumen," jelas gue.

Kak Aira yang tampak bosan pun tiduran di bangku sofa, bikin cetakan di dadanya yang hampir tumpah itu. "Kalau aku ikut, boleh nggak?"

"Boleh, Kak, tapi pakaiannya harus yang sopan," ucap Lily. Sebenarnya nggak salah juga Lily ngomong begini, soalnya hampir semingguan ini pakaian yang dipakai Kak Aira itu selalu yang kurang bahan.

"Sopan gimana?" tanya Kak Aira, masih tiduran.

Shannon menunjuk dada Kak Aira tanpa merasa bersalah. "Itu susu kakak gondal-gandul."

"Lah? Punya Lily juga sama!" ucap Kak Aira tidak terima.

Lily refleks langsung nyilangin kedua tangan buat menutupi dadanya, tidak sanggup mengeluarkan sepatah katapun untuk melakukan pembelaan.

"Iya, susu Lily memang gondal-gandul, tapi pakaiannya tertutup," ucap Shannon.

Gue langsung turun tangan untuk menengahi, sebelum pembahasan gondal-gandul mereka semakin jauh. "Ada aturan di kampus, harus pakai  pakaian tertutup yang tidak memperlihatkan lutut dan ketiak. Oh, alas kakinya juga nggak boleh kelihatan jari kaki, Kak."

KOSAN MEGA [GXG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang