Berpisah tanpa (airmata)

93 13 3
                                    

Ketika keluar dari kamar mandi, Daniar memberitahu bahwa ia akan pulang kembali ke Jakarta malam ini, tentu saja itu membuat gue bingung karena seharusnya kami masih menghabiskan waktu bersama sampai besok. Bahkan Daniar terlihat seperti buru - buru membereskan semua pakaiannya yang tergantung di belakang pintu untuk dimasukan ke dalam koper.

"Sayang, emangnya nggak bisa ditunda kerjaannya? Besok kita mau ke pantai," ujar gue saat memperhatikan dirinya yang tengah sibuk memasukan sisa pakaiannya.

Ia menghentikan kegiatannya lalu berbalik ke arah gue yang memasang wajah cemberut. Dia menangkup pipi gue dengan lembut dan berkata, "maaf sayang, ini hal yang mendesak. Barusan Janice nelepon," gue hanya tersenyum tipis tetapi dia tidak bisa memberikan alasan yang jelas dan gue tidak bisa memaksakan itu, mungkin ada hal rahasia yang tidak bisa ia jelaskan.

Masih dengan wajah ngambek, gue menjatuhkan pantas ke atas kasur sambil memperhatikannya lagi yang mulai mengambil handuk untuk bersiap mandi, "tapi kenapa mesti kamu, kan banyak pengacara di kantor kamu itu, masa mesti kamu juga yang turun tangan," gue menggerutu namun dia masih menghdapi tantrum gue dengan sabar.

"Nanti kita ke pantai deh, di Ancol," ia tertawa renyah setelah mengeluarkan guraun seperti itu.

Gue melotot, "Ancol?! Yang bener aja sayang."

Daniar kembali tertawa. Tawa yang mungkin nggak bisa gue lihat di beberapa bulan ke depan.

"Jendra... Jendra... kamu tuh gampang banget sih dibercandain," ia menggelengkan kepalanya.

"Ya udah aku mandi dulu, ya."

Sembari menunggunya yang kini sedang membersihkan tubuhnya, gue memperhatikan foto - foto yang kami ambil kemarin. Cantik... Daniar terlalu cantik untuk gue angguri, dia terlalu pintar untuk gue tinggalkan. Sebenarnya gue sudah mempersiapkan hal yang tidak terduga ketika besok kami berangkat ke pantai namun pekerjaannya lagi - lagi membuat gue harus mengalah untuk kesekian kalinya.
Gue menyalakan televisi sambil menunggunya lalu dalam salah satu acara yang gue lihat seorang pria tegap, tinggi dan gagah sedang bersalaman dengan Presiden, dan semakin gue memperhatikan semakin yakin kalau itu Mas Robert, pria yang kemarin menjadi pembicara di seminar gue dan Daniar mengenalnya, sungguh ironis kalau gue bilang bahwa hal yang paling gue takutkan adalah mengetahui bahwa pria mapan seperti Robert dapat merebut Daniar dari gue.
Masih memperhatikan acara tersebut yang mengusung tema motivasi, si pembawa acara bertanya, "apakah sekarang ada seseorang yang mungkin dapat memberikan motivasi positif terhadap diri anda?"

Gue perhatikan Robert memberikan senyuman kecilnya, tampak ia malu - malu dan menunduk untuk menjawabnya. Di dalam hati gue berdoa semoga apa yang membuat Robert bahagia itu bukanlah bertemu Daniar, namun detik selanjutnya ia berkata, "saya bertemu dengan seseorang di sebuah restoran bersama salah satu teman saya, dan dia cantik sekali. Saya harap saya bisa mengejarnya," dia tertawa dan satu studio ikut tertawa.

"Lalu kalau boleh tahu sekarang perempuan yang anda kagumi itu ada dimana? Dan apa yang ingin anda sampaikan kepadanya?"

Wajahnya berubah serius untuk melihat ke arah kamera lalu tersenyum dengan malu - malu, "beberapa hari yang lalu saya bertemu lagi dengannya tanpa sengaja di Yogyakarta...

Deg! Tiba - tiba gue teringat bagaimana gue bertemu dengannya di sebuah warung angkringan.

Raut wajah Robert menjadi lebih... lebih apa ya istilahnya hmm seperti orang yang sedang jatuh cinta, cerah.

"Nanti saya akan bertemu dengan dia setelah dia pulang ke Jakata."

Gue mengerutkan kening, ketemu? Memangnya mereka janjian? Gue tahu meskipun Robert tidak menyebutkan siapa nama orang itu, reflek gue tahu siapa yang dia maksud.

Eyes On YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang