Penculik

637 10 2
                                    

Setelah melepas ikatan sabuk hijau yang melilit pinggangku, kutanggalkan baju karateku untuk kukenakan kembali kaus hitamku, lalu kuturunkan celana karateku perlahan hingga menyentuh mata kakiku.

“Capek banget gak sih hari ini” kata salah satu temanku.

“Hmm… Kayaknya Sensei terlalu bersemangat hari ini” candaku sambil memegangi rok pendek hijau mudaku dan masih hanya mengenakan bawahan celana dalam katun ungu tua.

“Tapi tadi lu hebat banget sih, Nada… Bisa ngalahin si itu, ‘kan dia jago tuh…” kata temanku yang lain.

“Ah, biasa aja itu…” balasku.

Setelah kukenakan rok pendekku, percakapan kami di ruang ganti ini berakhir. Pertemuan ini memang singkat karena kelas karate hanya ada sepekan sekali di Sabtu sore. Kami pun berpisah untuk pulang setelah keluar dari dojo karate.

Aku berjalan kaki menuju halte bus terdekat untuk pulang. Sebelum itu, aku melewati taman kota dan mencoba mampir sebentar ke situ. Sebenarnya aku mampir ke sini karena mulai merasa ingin pipis dan di taman ini seingatku ada toilet umum. Namun, saat aku tiba di toilet, terdapat beberapa orang yang mengantri, membuatku harus sabar menunggu.

Sambil memainkan HP, aku melihat keadaan sekeliling taman ini. Ada pasangan suami-istri dengan bayi mereka di troli, ada kumpulan remaja lelaki seusiaku yang nongkrong, dan ada seorang anak laki-laki yang duduk sendirian di kursi taman. Pandanganku fokus pada anak itu begitu kulihat seorang pria dewasa menghampirinya.

Sambil sedikit menahan pipis, aku merasa curiga dengan orang itu. Badannya agak besar dan berotot. Di tangan kanannya ada tatto yang membuatnya sangar, apalagi dengan kumis yang tebal. Tahu-tahu, orang itu membawa anak laki-laki tadi pergi ke luar taman, tetapi dengan menuntunnya agak paksa.

Meski dari kejauhan, kulihat ekspresi wajah anak itu mulai cemas. Aku mulai khawatir, apalagi tidak ada orang lain yang menyadarinya sepertiku. Ingin aku berteriak bahwa ada penculik, tapi aku tidak mau sembarang menuduh. Bagaimana kalau pria itu adalah ayah atau paman dari anak tadi?

Rasa khawatir dan penasaran membuatku diam-diam mengikuti mereka berdua meski harus meninggalkan antrian toilet. Aku memang kebelet, tapi aku rasa masih bisa kutahan dulu. Kuikuti mereka yang menyusuri trotoar jalan, lalu masuk ke sebuah gang sempit. Di dalam gang, aku berusaha menjaga jarak agar tidak ketahuan oleh pria itu. Soalnya, meski banyak orang lain yang lalu lalang, mereka juga tidak peduli dengan gelagat pria besar itu.

Mereka pun berhenti di sebuah jalan buntu, tepatnya di sebelah sebuah bangunan yang sepi dan masih setengah jadi. Aku bersembunyi di balik sebuah tiang listrik besar, memantau apa yang terjadi di belakangku. Hatiku mulai risau ketika kulihat dengan jeli kalau si pria dewasa mengambil HP dan jam tangan dari anak itu dengan paksa. Tentu saja si anak itu tak bisa melakukan apa-apa dan pasrah saja dengan ketakutan.

Yang juga membuatku lebih risau adalah kini diriku merasa makin kebelet pipis. Sebuah dorongan pipis yang kuat membuatku menyilangkan kedua kakiku dan sedikit membungkukkan badan karena merasa hampir kelepasan. Tidak kusangka, aku memang benar-benar ingin pipis. Seharusnya aku berusaha pipis dulu di toilet taman tadi.

Namun, kalau harus pipis dulu, aku tidak akan bisa melihat hal buruk yang ada di depanku saat ini. Pikiranku sempat kacau hingga saat kulihat selokan atau ember bekas di sekitarku, aku bisa nekat pipis saja di sini.

Tidak. Aku tentu tidak senekat itu. Terlalu malu rasanya bagiku pipis sembarangan saat ini juga. Apalagi, yang harusnya kukhawatirkan adalah nasib anak yang ada di belakangku saat ini. Si pria dewasa sepertinya masih ingin membawanya ke suatu tempat. Jangan-jangan, dia bukan hanya ingin mencuri, tetapi menculik anak itu? Aku memikirkan banyak hal yang mungkin terjadi sambil masih berusaha menahan pipisku dengan menyilangkan kedua kakiku lebih kuat.

Apakah ini sebabnya aku terbawa ke sini? Kalau kupanggil polisi sekarang, mereka akan terlalu lama tiba sebelum si pria itu pergi lagi. Apakah justru dengan keahlian karateku, si pria ini bisa kuhentikan? Salah satu alasan aku mengikuti kelas karate setiap pekan adalah untuk selamat dari orang-orang seperti dia.

Saat pria itu berbalik membawa anak itu untuk melanjutkan perjalanan, aku keluar dari persembunyianku setelah sejenak kutaruh tas gendongku. Kucegat dia dan kutunjukkan HP-ku padanya dengan wajah menggertak.

“Gua udah lihat yang lu lakuin. Lepasin anak itu sekarang! Gua udah nelpon polisi, nih!” ancamku berusaha menipunya.

Meski percaya dengan kemampuan karateku, aku berusaha sebisa mungkin menghindari baku hantam. Apalagi, di tengah diriku yang kebelet pipis, aku merasa lebih lemah sekarang. Untung saja pria itu tidak menyadari posisi berdiriku, kedua paha dirapatkan dan kedua betis menyilang demi menahan pipis. Namun, tetap saja dia tidak mudah untuk ditipu.

Setelah sempat kaget, ekspreksi wajahnya menjadi seram, “Gak usah ikut campur lu, ya! Minggir sana…!”

“Enggak! Lu harusnya malu! Beraninya sama anak kecil doang…!” pancingku.

Raut wajahnya menunjukkan marah karena emosi. Perlahan tapi pasti, dia melangkah dengan cepat mendekatiku. Melihat tangannya, dia akan mencoba menghajarku. Waktu begitu cepat saat itu, tapi refleks kedua kakiku sudah dalam posisi kuda-kuda meski membuat dorongan pipisku makin kuat menusukku.

“Brukk…!”

Terasa sedikit sakit, tapi tangannya yang besar berhasil kutangkis. Lalu, sekuat tenaga tangan kananku meninju perutnya sebelum ia sadar. Dia mengaduh sakit hingga mundur beberapa langkah. Kedua pahaku tetap dalam posisi kuda-kuda, tapi mulai gemetaran. Bukan karena takut, tapi karena sebuah dorongan pipis yang lebih besar membuatku sekuat tenaga menegangkan otot-otot pahaku tanpa mencoba mengapit selangkanganku.

“Sok jagoan, lu…! Dasar anj*ng…!”

Dia semakin marah. Kali ini ia mencoba menghantamkan badannya dengan cepat ke arahku. Sebelum badannya menabrak diriku, refleks kedua tanganku mengunci badannya dengan mengenggam kuat kedua lengan atasnya. Tidak bisa kubohongi kalau dorongannya begitu kuat. Badannya yang berkeringat dan bau membuatku makin tidak nyaman dan menderita.

Penderitaanku semakin parah saat mendadak kurasakan kucuran hangat menembus celana dalam katun ungu tua yang kukenakan di balik rok hijau mudaku. Pipisku kelepasan merembesi ujung bawah celana dalamku, bahkan hingga mulai menjalar di kedua sisi dalam pahaku. Di tengah keadaan genting, aku kehilangan kendali menahan pipis.

Namun, pikiranku masih cukup jernih untuk gerakan selanjutnya, meski hatiku risau akan tetesan pipisku yang sudah jatuh ke tanah di antara kedua kakiku. Melihat si penculik lengah, kuayunkan sedikit kaki kananku, lalu dengan sekuat tenaga dan secepat mungkin kuhantamkan kakiku itu pada mata kakinya. Salah satu teknik dasar karate yang ampuh, membuat dia kehilangan keseimbangan dan langsung terjatuh.

“Gubrakk…!”

Punggungnya menghantam tanah dengan keras. Dia kesakitan kembali, sedangkan diriku perlahan mundur beberapa langkah. Sebisa mungkin kusempatkan untuk menyilangkan kedua pahaku sekuat mungkin dan membungkukkan badan. Pipisku bocor tertahan-tahan hingga jemari tangan kiriku mau tidak mau menekan kuat-kuat ujung bawah celana dalam katun ungu tuaku yang sudah basah. Setelah menghela dan menarik nafas dengan berat, aku sanggup menahan kembali kebelet pipisku, walau sayang sebenarnya sempat mengompol sedikit.

Sialnya, pertarungan ini belum selesai. Dengan masih mengaduh, si penculik kembali bangun dan mengumpat kata-kata kasar kepadaku. Kulepaskan jemari tangan kiriku dari himpitan kedua pahaku dengan spontan, merasa hampir malu. Aku hanya membalasnya dengan senyum menantang, membuatnya makin ingin meledak. Andai saja dia meredakan emosinya, dia mungkin tahu kalau saat ini aku begitu cemas karena menahan-nahan pipis. Jemari tangan kiriku juga kini sudah basah karena bekas pipis yang menempel di celana dalam ungu tuaku tadi.

Tak kusangka, dia mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku celananya. Mata pisau yang tajam membuatku bergidik, meski aku sudah tahu teknik karate apa yang harus kukeluarkan saat ini. Namun, aku tidak sempat membuat posisi kuda-kuda karena kedua paha dan betisku masih kurapatkan demi menahan pipis.

“Awas, Kak…!?!?”

Suara teriakan anak laki-laki yang kuselamatkan hanya sebentar kudengar sebelum si penculik sudah siap menikam diriku. Badanku sempat mengelak sedikit, menghindari tikamannya, lalu kukunci kembali tangannya itu dengan tangan kananku, sedangkan tangan kiri kami saling mengunci. Nafasnya semakin tidak beraturan karena amarahnya saat kesulitan mencoba mengarahkan pisaunya mendekati perutku. Sekuat tenaga kutahan dorongannya meski kini kendaliku atas pipis semakin melemah.

Perlahan-lahan, sensasi hangat merembesi celana dalam katun ungu tuaku lagi, di tengah diriku yang masih berusaha mencari titik lemah si penculik saat ini. Barulah kusadari kalau kepalanya agak tertunduk, membuat tengkuknya terbuka lebar. Aku bisa saja menendangnya saat itu juga, tetapi...

Jika kugunakan kakiku, pertahananku menahan pipis akan lepas. Aku sedikit ragu karena jujur aku tidak mau mengompol di sini. Niat awalnya adalah sebisa mungkin menyelamatkan anak itu, lalu berlari mencari toilet terdekat untuk pipis. Bahkan opsi untuk pipis di selokan dekat sini masih menjadi pilihan lebih baik dibandingkan kondisiku saat ini.

Terpaksa diriku membuat pilihan di tengah aliran pipis yang mulai menjalar di kedua pahaku. Sebelum si penculik sadar, kuhantamkan kaki kiriku dengan sekuat tenaga setelah kuangkat agak tinggi.

“Bam…!”

Dia terhempas jatuh ke tanah. Kini wajahnya menghantam tanah lebih keras. Dia mengaduh sangat kesakitan dengan tangan kanannya memegangi tengkuknya. Saat itu juga, kulepas kedua sendalku dengan cepat. Kuinjak lehernya sekeras mungkin dengan kaki kananku. Hanya butuh satu injakan keras di titik lemahnya, perlahan ia mulai tak sadarkan diri.

Segera aku mundur begitu kusadari beberapa tetes pipisku jatuh mengenai leher dan wajahnya. Kuapit sekuat mungkin selangkanganku dengan kedua pahaku, tapi kucuran pipis semakin deras keluar dan mulai menjalar di kedua betisku. Di titik ini, hatiku sudah sangat kacau. Diriku sudah merasa menyerah melihat percikan pipis turun ke tanah setelah jatuh di antara himpitan pahaku. Kakiku melemas dan membuatku perlahan tertekuk berdiri hingga terjongkok lemah.

Begitu deras dan hangat, pipisku membasahi celana dalam katun ungu tuaku, tepatnya kini terasa membanjiri sisi pantat. Rok pendek yang kukenakan mulai basah karena diriku tak berdaya mengompol. Jantungku berdebar karena rasanya malu sekali melihat genangan pipis semakin banyak berada di sekitar pijakanku. Setelah membasahi rokku, pipisku membanjiri kedua betis yang tertekan oleh sisi belakang kedua pahaku.

Semenit lamanya diriku ini mengompol. Rasanya begitu lega sekali karena bisa melepas semua pipisku. Untungnya juga, si penculik sudah tak sadarkan diri. Namun, entah kenapa hatiku sedikit hampa. Rasanya percuma mengalahkan dirinya kalau aku akhirnya mengompol di sini.

“Kak… Makasih, ya… Maaf ngerepotin.”

Kepalaku yang tertunduk dibuat terangkat saat diriku menyadari kalau aku sudah menyelamatkan anak ini dari nasib yang mengerikan. Wajahku sedikit memerah dan mataku berair, tetapi aku tidak mau larut dalam kesedihanku.

“Ah… Enggak, kok… Justru harusnya bersyukur kita berdua selamat.”

“Iya, sih… Tapi ‘kan Kakak sampe ngompol gitu.”

“Ah… Ini, ya… Haha…” tawaku malu karena memang masih mengompol saat ini.

Aku tertawa sendiri mencoba mencairkan suasana. Padahal, malu sekali diriku yang sudah kelas 3 SMP ini mengompol di depan anak laki-laki yang mungkin masih SD ini. Duh… Seharusnya dia kabur saja saat aku sibuk menghajar si penculik tadi agar tidak melihatku sampai mengompol…

“Tadinya Kakak mau ke toilet di taman. Eh… Gara-gara ngeliat kamu dibawa orang ini, Kakak jadi gak tega buat gak nyelametin kamu. Gak apa-apa, bukan salahmu, kok…”

Sejenak kami sama-sama terdiam, setidaknya menunggu pipisku benar-benar habis. Namun, aku sempat heran melihat anak itu yang ragu-ragu menunjuk ke arah rokku. Rupanya, dari tadi aku mengompol dengan posisi jongkok sampai tidak sadar kalau sisi pantat rokku masih menjuntai, membuat sisi depan dan sisi bawah celana dalam katun ungu tuaku yang masih ditembus pipisku kelihatan olehnya.

Aku jadi kikuk sendiri dan refleks menghimpit kedua betisku untuk menutupi celana dalam katun ungu tuaku. Aku merasa makin malu dan berusaha menutupinya dengan tertawa kecil, lalu spontan aku berdiri meski tetesan pipis tak beraturan jatuh dari rok dan celana dalam katun ungu tuaku yang basah kuyup. Dengan hati-hati, kurogoh saku celana si penculik demi menemukan HP dan jam tangan si anak laki-laki untuk kukembalikan.

“Oh iya, Kak. Namaku Budi. Sekali lagi makasih banyak ya, Kak.”

“Sama-sama. Panggil aja Kak Nada, ya.”

Budi menelepon papanya untuk memberi tahu kalau dia sempat diculik. Setelah menunggu beberapa menit, papanya datang dengan raut wajah khawatir. Segera dia memeluk anaknya dan merasa bersalah karena meninggalkannya. Aku sendiri hanya berdiri seperti orang bingung. Masalahnya, aku ‘kan sudah mengompol begini…

Budi lalu memperkenalkan papanya, namanya Pak Harry. Beliau berulang kali mengucap terima kasih, meski ia sempat heran dengan diriku yang mengenakan rok pendek hijau muda yang basah kuyup, apalagi ada genangan air yang cukup besar di tanah yang ada di dekatnya. Namun, beliau tanpa ragu menggunakan jaket kulitnya untuk diikatkan ke pinggangku. Dengan demikian, kami bertiga dapat kembali ke taman dan diriku setidaknya merasa sedikit lebih lega.

Saat di taman, aku langsung ke toilet untuk membersihkan diri. Benar saja, sekujur permukaan celana dalam katun ungu tuaku basah kuyup. Setelah menggantinya dengan celana dalam cadangan yang selalu kubawa, aku mengenakan celana karateku karena tidak membawa bawahan lain.

“Wah… Pantes bisa jago ngehajar penculik tadi, Kak Nada bisa karate…” puji Budi.

Setelah itu, aku diantar pulang oleh Pak Harry dengan mobilnya. Aku juga diberikan banyak cemilan sebagai ucapan terima kasih. Sepanjang perjalanan, Budi dengan detail dan antusias menceritakan diriku saat bertarung dengan si penculik meski harus sambil menahan kebelet pipis hingga mengompol. Aku yang mendengarnya hanya bisa menahan malu.

Saat tiba di rumah, aku sudah disambut oleh Mama di depan teras. Sebelum berpamitan, Pak Harry sempat berbincang sebentar dengan Mama soal aksi heroik diriku tadi. Namun, entah kenapa beliau begitu peka dan tidak menceritakan kalau aku mengompol tadi.

“Itu kenapa kamu gak ganti celanamu, Nad?” tanya Mama saat aku ingin segera memasuki rumah.

“Buru-buru pulang tadi, Mah… Gak sempet” kataku sedikit malu menutupi diri agar tidak ketahuan mengompol.

Cerita Mengompol Sehari-hariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang