Menjaga Bayi

624 11 1
                                    

Dari dalam rumah, aku hanya termenung melihat derasnya hujan dari jendela dengan tirai putihnya. Di depan diriku yang duduk di sebuah sofa, layar TV menyala meski tidak terlalu kutonton. Aku lebih dibuat sibuk oleh sosok kecil yang dibedong dan tertidur pulas tepat di depan gendongan badanku yang hanya mengenakan kaus tanpa lengan berwarna biru muda. Bayi kecil sepertinya selalu saja membuatku gemas untuk mengelus kepala, menggenggam tangan mungil, atau mencubit pelan pipinya.

Itulah sebabnya beberapa jam yang lalu aku mau ditinggal sendirian di rumahku dan harus menjaga bayi ini. Bayi ini adalah anak dari paman dan bibiku yang masih di luar karena pergi belanja ke swalayan besar di tengah kota bersama Mama. Sambil terkadang mengecek sosmed di HP-ku, aku menikmati saja tugas ini seperti biasa. Hanya saja, kini rasanya diriku mulai merasa tidak nyaman.

Karena kebanyakan minum es buah buatan Bibi sebelumnya, sekarang aku jadi kebelet pipis.

Hujan yang tidak kunjung reda membuat hawa dingin menusuk sekujur pahaku yang diatasnya hanya dilapisi celana short berwarna jingga. Dengan tangan kananku yang masih asyik bermain dengan sepupu kecilku ini, tangan kiriku kuselipkan di antara kedua pahaku yang perlahan-lahan semakin menghimpitnya karena rasanya pipisku semakin mendesak.

Dengan menggendong bayi saat ini, jelas mustahil bagiku untuk pipis di lantai atau di kloset jongkok kamar mandi rumahku. Kenapa bayinya tidak dilepas dulu? Jujur, meski diriku suka sekali padanya yang gemas ini, dia ini bisa dibilang cengeng sekali. Terakhir kali Bibi coba menitipkannya padaku sebelum berangkat, ia berontak menangis dan harus menyusui ibunya. Sekarang dia bisa tenang begini karena kujaga sebaik mungkin agar tidak terbangun dari tidurnya. Jadi begitulah kenapa aku tidak berani melepasnya dahulu dari gendonganku walau hanya untuk pipis sebentar saja.

Paman, Bibi, dan Mama pergi berbelanja dengan menaiki mobil. Jadi, meskipun di luar masih hujan, aku percaya kalau diriku sanggup menahan pipisku hingga setidaknya mereka tiba di rumah.

Sayangnya, mungkin sudah hampir dua jam sejak diriku mulai merasa kebelet pipis, mereka tak kunjung datang. Beberapa kali diriku mengangkat-ngangkat pantat dari sofa hanya untuk merubah posisi dudukku. Namun, rasa kebelet pipis sama sekali tidak mereda dan mulai membuatku sedikit cemas.

Kini, aku mulai berdiri dengan tetap mengelus-elus pelan kepala bayi yang kugendong. Di bawah tubuh mungilnya, kedua pahaku mulai saling menyilangkan dan menindih satu sama lain karena setiap dorongan pipis yang menusuk kandung kemihku.

Berulang-ulang gerakan itu kulakukan demi menahan pipis, tetapi ketika si bayi mulai merasa terganggu, segera kuhentikan gelagatku karena takut kalau ia sampai menangis dan membuatku lebih kerepotan.

Sambil menenangkannya dengan menepuk-nepuk perlahan punggungnya, yang hanya bisa kulakukan adalah menguatkan otot-otot selangkanganku. Kedua sisi atas pahaku merenggang dan menghimpit kemaluanku mengikuti helaan dan tarikan nafasku yang mulai terasa berat.

“Yah…!?!?”

Rembesan hangat begitu cepat terasa menembus celana dalam katun coklatku. Refleks kutekan tangan kiriku tepat pada ujung bawah celana short jinggaku yang sudah memiliki noda basah karena pipisku. Rasa kebelet semakin di ujung meski sanggup kutahan sekuat tenaga agar tidak terus kelepasan mengompol. Namun, hatiku mulai mengacaukan pikiranku agar menyerah saja karena nasibku sudah di titik nadir.

Jangan dulu…! Aku ini sudah kelas 2 SMP. Masa masih mengompol? Aku bukan seperti bayi yang sedang kugendong saat ini.

Karena sempat kelepasan mengompol sedikit tadi, aku makin berharap-harap cemas agar entah Paman, Bibi, atau Mama tiba secepatnya di rumah. Aku berharap agar bisa langsung melepas pipisku yang kutahan-tahan setelah dapat melepas bayi ini dari gendonganku. Oleh karena itu, kini diriku berdiri di depan pintu kamar mandi rumahku. Bukan hanya itu, dengan perlahan-lahan sambil menggerakkan kedua kaki naik-turun, kuturunkan celana short jinggaku dari kedua paha, lalu melewati kedua lutut hingga menuruni kedua betisku dan akhirnya kulepas dari pijakan kedua telapak kakiku.

Cerita Mengompol Sehari-hariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang