-
-
-
-Hari berikutnya, suasana di rumah duka sangat muram. Udara terasa berat dengan keheningan yang menyakitkan. Para sahabat Mira berkumpul di sana, menatap kosong ke arah peti mati yang terbuka, di mana tubuh Mira terbaring dengan tenang, wajahnya terlihat damai seolah sedang tidur. Mereka merasa seakan waktu berhenti, dan mereka terjebak dalam mimpi buruk yang tidak berkesudahan.
Di sekitar peti mati, sahabat-sahabat Mira Adel, Shani, Lulu, Olla, Flora, dan Oniel berkumpul, berdiri dalam diam. Masing-masing dari mereka tenggelam dalam lautan perasaan yang tak terucapkan, tangan mereka saling menggenggam, mencari kekuatan dalam kebersamaan. Mereka tahu mereka harus kuat, tetapi beban kesedihan yang begitu dalam membuat setiap napas terasa menyakitkan.
Adel berdiri paling dekat dengan peti mati. Tatapannya terfokus pada wajah Mira yang tak lagi bernyawa, air mata mengalir tanpa henti di pipinya. "Maafin gue, Mir... Gue janji, gue akan cari siapa pun yang bertanggung jawab atas ini. Gue nggak akan biarin mereka lolos," bisiknya, suaranya gemetar menahan tangis yang hampir meledak.
Di sudut ruangan, orang tua Mira berdiri dengan ekspresi wajah yang tidak bisa digambarkan. Ibu Mira, Bu Viona, terus mengusap matanya dengan saputangan, sementara Adhiyaksa, ayah Mira, berdiri tegak, berusaha menahan air mata yang menggenang di matanya. Mereka tidak bisa percaya bahwa putri mereka yang ceria dan penuh semangat kini sudah tiada.
Shani, dengan langkah berat, mendekati mereka. Rasa bersalah yang begitu besar menghantui setiap langkahnya, seolah menghancurkan hatinya sedikit demi sedikit. "Tante, Om... saya sangat menyesal... ini semua salah saya. Kalau saja saya bisa melindungi Mira, semua ini nggak akan terjadi," ucapnya dengan suara serak, tangannya bergetar saat ia mencoba menjelaskan dirinya.
Viona memandang Shani dengan mata yang penuh air mata. "Shani, ini bukan salahmu. Kami tahu kamu sudah berusaha yang terbaik. Kami hanya berharap Mira bisa kembali, tetapi kami harus menerima kenyataan ini," jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Adel maju dan memeluk Bu Viona dengan erat. "Kami semua sangat menyayangi Mira, Tante. Kami akan selalu mengingatnya dan berusaha menjadi teman yang lebih baik, seperti yang dia ajarkan pada kami," ucapnya, air mata mengalir di wajahnya.
Pak Adhiyaksa mengangguk pelan. "Mira selalu berbicara tentang kalian. Dia sangat bangga punya teman-teman seperti kalian. Jangan biarkan kematiannya sia-sia. Teruskan perjuangan yang dia mulai," ucapnya, suaranya terdengar tegar meskipun hatinya hancur.
Lulu, yang biasanya tegar, kini tak mampu menahan air mata. "Kami akan melakukannya, Om. Kami akan melanjutkan apa yang Mira mulai. Kami janji," ujarnya dengan suara bergetar.
Saat upacara pemakaman dimulai, suasana semakin berat. Doa-doa dipanjatkan, dan satu per satu teman-teman Mira memberikan penghormatan terakhir. Shani dan Adel menatap peti mati yang perlahan diturunkan ke dalam liang lahat, air mata tak berhenti mengalir di pipi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M ADELIA
Fanfiction"Ciciii, mau kiss duluu," "Ini Ci, pake helmnya dulu. Sini, dedel pakein," "Ci, cici kerumah sakit sekarang ya ci" "Adel, Ci.. " Awalnya emang gajelas, tapi coba deh baca sampe selesai. Gabisa deskripsiin langsung baca aja. Disclaimer ini cuman ceri...