IY: Bagian 6-Anaknya dulu, baru ibunya.

698 56 4
                                    

Gue Pusing.

Radit menghela nafas entah untuk yang keberapa kalinya. Sesekali ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Bingung.

Keahlian merayunya dari SMA sudah menghilang,sepertinya. Sehingga Radit hanya bisa membisu dan memberi bahunya sandaran untuk wanita yang kini menangis dalam dekapannya.

"Gue belum kerja tapi sikap gue udah min di mata boss.Hiks..hikss.." Rengeknya.

Radit menghela nafas lagi, mengusap pelan punggung wanita itu, menenangkan.

"Ele-"

"Pasti lo mau bilang gak kenapa-kenapa, kan?"

"Bukan gitu. Tapi.." Radit melirik jam tangan, "Kerjaan gue banyak"

Elena menarik kepalanya dari bahu Radit. Alisnya menukik, bibir tipisnya mengerucut. "Yaudah sana" Ucapnya ketus.

Radit hampir saja melepas tawa jika ia tidak mengetahui keadaan, "ini ruangan gue, Lele"

Wanita itu tampak gelisah dalam duduknya, "Gue keluar. Permisi"

Elena keluar masih dengan tampang kesalnya. Radit merutuki diri setelahnya, seharusnya ia tak mengusir Elena, tapi apa boleh buat? pekerjaan di meja kantornya sudah menumpuk.

Radit terdiam, menatap kertas-kertas di hadapannya lalu menaikkan pandangan ke arah pintu. Ia tersenyum, membayangkan Elena yang belakangan ini menjadi dekat dengannya.

Iya, Radit seperti menemukan semangat mudanya kembali. Adrenalinnya berpacu lebih keras, jantungnya berdetak lebih cepat, terlampau sering jantungnya beraktifitas berlebihan saat bertemu dengan Elena.

__

"Lo pacarin aja Elena" Nina berucap tiba-tiba sambil menatap Radit serius, sementara Arga nampak terkejut.

Radit menaikkan tatapannya dari ponsel, "Lo tadi bilang apa?" Tanyanya dengan intonasi tinggi, seolah-olah ia tuli secara tiba-tiba.

Nina melengos, "Lo denger gue bilang apa, Bego." Zian yang berada di pangkuan Nina mulai rewel. Lantas, ia membawa Zian ke pangkuan Arga yang saat itu sibuk dengan COC-nya. "Lagian, kalau lo dapet pacar kan gue jadinya tenang." Tambah Nina seraya meraih mainan Zian di bawah lantai.

Alis Radit naik sebelah, "Maksud lo apa sih?"

"Asumsi gue bahwa lo Gay jadi gak terbukti." Ujar Nina cuek seolah Gay itu adalah kata yang wajar di ucapkan.

Radit melongo. Sementara Arga terbatuk , membuat Zian menatap Arga tanpa berkedip. "Apa gue terlihat sejones itu?"

"He-em. Lo gak inget setiap malam minggu lo ngapelin rumah kita? Gue ngerasa jadi punya anak gadis setiap lo main ke rumah. Gue tau lo kesepian. Jadi mendingan tembak Elena. Kalau perlu bawa langsung ke KUA." Jelas Nina. Arga berusaha keras menahan tawanya hingga wajahnya memerah.

Sementara Zian kecil masih menatap ayahnya dengan mulut terbuka.

Radit melengos,"Gue nyari Zian, Nin."

"Nah itu lebih parah." Nina mengacungkan jarinya, seolah-olah ia baru saja menemukan solusi bagaimana caranya memberantas korupsi dalam satu kali gerakan. "Lo lebih suka dunia anak kecil daripada nyari calon istri. Inget umur,om. Umur lo udah 28. Seharusnya lo udah gendong anak sekarang."

Radit meraba wajahnya, "Apa gue udah keliatan tua?"

Mata Nina menyipit saat melihat Radit, "Enggak. Setidaknya bentuk wajah lo bagus. Gak ada cacat. Bibir lo proposional. lesung pipi lo juga mengagumkan. Hidung lo juga mancung."

Arga berdeham, membuat perhatian Nina dan Radit jatuh pada Arga. "Dit, mendingan Elena gue jadiin sekretaris lo aja deh. Deni biar jadi sskretaris gue. Gimana?"

Radit mengendikkan bahunya, senyum tipisnya terbit malu-malu. "Gue sih terserah lo."

***

Radit menjalani hari-harinya bersama sekretaris barunya-Elena, seperti biasa. Biasa dalam artian yang luar biasa. Mereka bahkan terlampau sering membicarakan hal-hal yang tidak penting daripada membicarakan masalah pekerjaan.

"Eum, Dit. Nanti malam anak gue ulang tahun, Caca. Datang ya. Ajak Pak Arga sama keluarganya juga." Elena memasukkan berkas-berkas ke dalam tas kecilnya.

Radit berdiri, bersandar di tepi meja kerjanya, "Anak lo umur berapa?"

"Sekarang umurnya udah 9 tahun." Ujar Elena lalu tersenyum sumringah.

Di dalam benak Radit, ada berbagai pertanyaan yang silih berganti memenuhi ruang pikirannya. Seperti; Mana ayah Caca,siapa dia , bagaimana kalian bisa bercerai, dan.. apakah kalian masih saling mencintai?

Begitu Elena akan membuka pintu ruangan, Radit menyusulnya. "Gue anterin lo pulang. Sekalian anterin gue beliin kado untuk Caca." Radit meraih gagang pintu lalu membukanya. Sementara Elena masih diam di tempat. Tidak tau harus berkata apa dan bersikap bagaimana dengan atasannya.

"El, lo gak jadi pulang?" Kepala Radit menyembul dari balik pintu,membuat Elena terkesiap dan hampir memukul kepala Radit dengan tas gandengnya. "Bikin kaget aja."

Radit membuka pintu lebih lebar, membiarkan Elena keluar ruangan dan berjalan lebih dulu. "Ngomong-ngomong, anak lo suka apaan?" Radit berjalan bersisian dengan Elena.

Elena menekan tombol lift, lalu menatap Radit. "Anak gue lebih suka di kasi perhatian dari pada barang. Jadi kalau lo mau ngasi dia sesuatu, lo harus deket dulu sama Caca. Dia gak mau sembarangan nerima barang dari orang yang gak dia kenal." Ujarnya lembut lalu tersenyum.

Radit nyengir, wah.. kode keras ni. Batinnya.

"Lo kenapa?" Elena menatap Radit dengan pandangan bertanya.

Radit keluar dari lift lebih dulu, disusul Elena. "Gue gak kenapa." Ujarnya lalu tersenyum.

Mereka lantas menutup percakapan saat berada di dalam mobil. Mereka sama-sama memilih diam, dengan radio mobil yang menyala. Sesekali penyiar membuat gimik tentang kejonesan yang berakhir dengan kematian, yang diam-diam membuat Elena dan Radit tertawa.

***

Radit menghembuskan nafasnya dengan gusar saat memasuki rumah minimalis yang di dominasi dengan warna hijau muda.

"Ini rumah go green banget,ya." Celetuk Nina saat ia memperhatikan tanaman hias yang ada di hampir setiap sudut ruangan.

Arga mendengus, "Gak kayak Mama. Dinding kamar di pasang fotonya Teejay Marquez semua. Apa sih unggulnya dia di banding Papa?. Bibitnya juga unggulan bibitnya papa." Celetuk Arga yang di balas tatapan cuek Nina.

Tiba-tiba, Elena dengan dress pinknya yang sebatas lutut dan make up tipis terlihat menghampiri mereka di antara kerumunan anak kecil dan orang tua. "Makasih ya udah datang." Ujar Elena lalu bersalam pipi dengan Nina.

"Iya ni. Mumpung ada waktu luang, kak." Jawab Nina lalu tersenyum. Elena memang jauh lebih tua darinya. Daripada ia memanggil Elena dengan sebutan tante, lebih baik ia memanggil Elena dengan sebutan 'kak' agar perempuan itu tidak tersinggung. "Ayo silahkan duduk dulu." Elena menggiring mereka menuju sofa berbentuk setengah melingkar berwarna hijau terang. "Maaf ya kalau sofanya kurang empuk."

Radit yang sedari tadi menatap Elena dari ujung kaki hingga ujung kepala, kini mencoba membuka suaranya. "Caca mana?"

Elena menunjuk sekumpulan anak kecil yang sedang bernyanyi di tengah ruangan. "Itu lagi ngumpul sama temen-temennya."

"Samperin gih." Bisik Arga seraya mendorong bahu Radit. "Pendekatan sama anaknya dulu, baru ibunya." tambahnya lalu duduk di kursi bersama Nina.

Radit mengangguk samar. "Gue mau ngasi kado ini ke Caca. Semoga dia seneng." Radit tersenyum saat melihat rona merah di pipi Elena.

"Dia pasti suka." Jawab Elena teduh, dan entah mengapa membuat Radit seolah-olah melayang.

iya, semoga kamu juga bisa suka sama aku. Batin Radit lalu mengangguk tulus.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 22, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

I'm Yours (Exel and Elena)Where stories live. Discover now