4. Malam Mencekam

413 30 6
                                    

"Gue nggak bisa tidur!" jerit tertahan Fiela terdengar oleh tiga gadis lainnya.

Pikirannya penuh, malam pertama ini membuat Fiela stress. Bayangan samar, deru nafas tanpa wujud. Rasanya ingin pulang, tapi, itu akan menghancurkan liburan ini.

Mereka ikut mendudukkan diri saat Fiela turun dari ranjang. Kebetulan, gadis itu tidur paling ujung. Fiela dengan randomnya berbaring telentang di lantai semen, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

Kamar mereka adalah yang paling terang karena mereka memilih menggunakan senter daripada harus di kelilingi api dari lampu minyak.

"Anjing, panas banget," ucap Fiela dengan nafas yang agak ngos-ngosan. Padahal sedari memasuki desa tadi, udara di tempat ini sangatlah dingin. Entah kenapa tiba-tiba menjadi panas seperti ini.

Pelita ikut turun dan duduk di lantai, bersandar pada pinggiran ranjang. Gadis itu mengipasi dirinya sendiri dengan telapak tangan berupaya mengusir rasa panas, bahkan hijab yang senantiasa melindungi kepalanya saja sudah teronggok di atas ranjang.

"Buka jendela kali, ya? Biar anginnya masuk," usul Pelita yang di setujui oleh Lavia dan Ona yang masih berbaring nyaman di atas ranjang. Tidak memperdulikan keringat sebesar biji jagung di wajah mereka.

Pelita yang baru saja berdiri hendak membuka jendela lantas terhenti saat Fiela dengan tiba-tiba mencekal kakinya. Sedikit terkejut saat melihat Fiela yang menggeleng ketakutan.

"Jangan," ucap Fiela lirih, gadis itu seketika bangun dan merapatkan diri kepada kaki ranjang. Meminta para sahabatnya untuk mendekat.

"Tadi gue liat ada orang yang berdiri di depan pintu," bisik Fiela sangat pelan, gadis itu kembali mengajak Pelita untuk duduk di atas ranjang dengan wajah pias. Kepalanya terasa akan pecah jika menyimpan semuanya sendiri.

"Kapan?" tanya Ona yang jelas kehilangan rasa kantuknya. Dia ikut mendudukkan diri dan bersandar pada dinding.

Fiela menarap sekeliling kamar yang terasa lebih sunyi dari sebelumnya, "Pas kita makan mie."

Sreek!

Suara itu membuat mereka semakin menegang, mereka serentak melirik kearah jendela dan tentunya tidak menemukan apapun. Perlahan mereka kembali berbaring dengan posisi menempel satu sama lain.

"Suara apa?" tanya Lavia berbisik pelan.

Pelita menggeleng tak berdaya, dirinya melirik kearah jendela sambil berusaha tidak membuat suara apapun. Sedangkan Fiela yang berbaring di ujung ranjang sudah  pucat pasi.

Sreek!

Suara aneh itu terdengar lagi, membuat Lavia semakin merapatkan diri pada Ona yang sudah menempel ke dinding kamar yang dingin.

Tok! Tok! Tok!

"Guys?"

Entah refleks atau apa, Lavia dan Ona tiba-tiba menahan Fiela yang hendak bangkit menghampiri pintu. Lavia menggeleng pelan memberi peringatan jika sebaiknya mereka sama sekali tidak membuka pintu.

"Suara Arsa agak beda," bisik Pelita pelan, hal itu justru membuat darah di tubuh mereka semakin tersedot.

Fiela juga langsung merebahkan diri, berusaha menutup mata agar tertidur. Apapun yang ada di balik pintu, pasti bukan hal yang baik untuk di ketahui.

Tanpa mereka sadari, beberapa bayangan mulai mendekati jendela. Hanya sesaat sebelum bayangan itu kembali mundur.

...

Arsa sama sekali tidak berniat untuk tidur, pemuda itu hanya duduk di atas ranjang sambil berkali-kali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih sekitar empat jam lagi baru matahari akan terbit.

Woso Tanah Neraka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang