10. Di Sekap

305 23 12
                                    

Keempat gadis yang sempat tak sadarkan diri karena di pukul dari belakang itu sekarang terikat di tiang dengan posisi berdiri.

Lavia yang baru membuka mata lantas mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru tempat yang berbentuk seperti lumbung kosong ini. Atapnya terlihat agak tinggi tanpa langit-langit sehingga sarang laba-laba terlihat dengan jelas di atas sana.

Gadis itu kemudian tersadar jika dirinya terikat saat merasakan sakit di pergelangan tangannya. Ketika menoleh ke samping, Lavia menemukan tiga sahabatnya yang terlihat tak sadarkan diri.

"Guys?" bisik Lavia sembari berusaha melepaskan ikatan tali di tangannya. Gerakan itu menimbulkan suara gesekan yang agak ketara karena tempat ini begitu sunyi.

"Ssst!"

Gadis itu menoleh dengan gerakan cepat ketika mendengar suara desis itu. Matanya terpaku kearah Pelita yang menggerakkan sedikit kepalanya, menghadap Lavia.

"Mereka ada di luar," bisik Pelita dengan sangat pelan. Jarak antar tiang yang mengikat mereka tidaklah terlalu jauh, jadi, Lavia masih bisa mendengar hal itu.

"Lo baik-baik aja, Ta? Nggak ada yang sakit?" tanya Lavia ketika melihat jejak air mata di wajah gadis itu. Bahkan hijab yang membungkus kepalanya sudah bergeser sedemikian rupa.

"Kepala aku sakit, tapi...." Pelita menjeda kalimatnya sembari menoleh kearah Ona yang masih tak sadarkan diri, "kaki Ona belum di obati."

Pelita berusaha memanggil gadis yang berada di sebelahnya beberapa kali hingga gadis itu mengedipkan matanya sembari meringis saat merasakan sakit di kakinya.

"Ona?"

Ona semakin meringis, "P-perih banget."

Darah di lukanya seakan tidak mau berhenti mengalir. Sehingga membuat dirinya menjadi lemas karena banyak kehilangan darah.

Suara pintu yang terbuka pelan membuat kedua gadis yang tadi saling berbisik itu lantas menunduk. Kembali berpura-pura pingsan karena belum berhasil melepaskan diri.

Bau bangkai yang teramat tajam mulai menusuk penciuman. Membuat siapa saja yang menghirup aroma ini pasti merasakan mual yang teramat.

"Bukankah pesta ini akan lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya?"

Suara tawa serak terdengar kencang, "Tentu saja, dahaga kita akan hilang sebentar lagi."

"Darah dan daging! PESTA!" Jeritan senang itu terdengar, kemudian pria itu melangkah mendekati Ona. Berjongkok dan mengusap darah yang mengalir, dengan wajah penuh damba lalu menjilat jemarinya sendiri, "segar sekali."

Ona yang masih berusaha memejamkan mata berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangis atas kengerian yang terjadi.

"Habisi saja Rahadi busuk itu, kita tidak perlu darah kotornya untuk menyenangkan Nyai Malati."

Suara batuk yang di sertai kunyahan akan benda padat itu terdengar sangat dekat di sekitar Pelita. Gadis itu berusaha tidak berteriak ketika sebuah tangan berbau sangat amis mampir di wajahnya.

"Ternyata anak Rahadi pintar juga, membawa sekaligus empat manusia untuk menyelamatkan ayahnya," bisik orang itu lalu menghempaskan wajah Pelita dengan kasar.

Entah berapa banyak entitas yang berkumpul di ruangan ini sambil berbincang-bincang mengenai hal yang sangat asing di telinga mereka.

"Festivalnya akan di mulai besok malam, kita siapkan tiangnya malam ini."

Lavia yang sejak tadi sudah sengaja membuka matanya dengan posisi kepala menunduk dapat melihat kaki-kaki hitam itu menjauh keluar. Menutup pintu hingga membuat suasana menjadi gelap.

Woso Tanah Neraka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang