11. Sepenggal Kebenaran

308 23 12
                                    

"Mahasiswa ke enam, yang berhasil kabur  dari desa ini walaupun dengan keadaan lengan kanannya yang putus," ucap Lavia tanpa menatap tiga orang yang mendengarkannya dengan serius, "Kakak gue, Lilin."

Seorang gadis terlihat berlari kencang sembari menahan lengannya yang sudah tidak berbentuk. Sekujur tubuh putihnya dipenuhi luka sayatan beda tajam yang membuat darah gadis itu terus mengalir deras.

"Jangan, please ... gue mau pulang," gumamnya sembari bersembunyi di balik sebuah pohon besar.

Berkali-kali gadis itu meringis menahan sakit dan juga ngeri akan tubuhnya sendiri. Air matanya kembali mengalir deras tak kala mengingat para sahabatnya yang sudah tidak bernyawa di dalam tanah terkutuk itu.

Gadis itu; Lilin menutup mulutnya menggunakan tangan kirinya yang sudah berlumuran darah demi menahan isak tangis tak berdaya.

Seketika menyesali kedatangan mereka dua hari yang lalu hanya demi sebuah konten mencari desa yang katanya tersembunyi dan sulit di temukan.

"Bukan kita yang terlalu pinter karena berhasil nemuin desa itu, tapi, kita terlalu bodoh buat menyadari kalo kita sengaja di kasih tunjuk jalan menuju desa," bisik Lilin kepada dirinya sendiri.

Krak!

Mata Lilin membola ketika mendengar suara patahan ranting yang tak jauh dari dirinya. Dengan gerakan pelan gadis itu menoleh ke belakang.

"AKHHH!"

Tungkai kakinya yang sudah lemas ia paksa untuk kembali berlari ketika melihat seorang pria yang tengah mengangkat sebuah golok besar kearahnya. Mengacung tegak seolah akan membelah tubuhnya dari ujung kepala.

"HAHAHA! BERHENTILAH BERLARI DENGAN KEADAAN SEPERTI ITU! KAU SAMA SAJA SUDAH MENGITARI DESA INI DENGAN DARAHMU!"

Lilin tidak memperdulikan apapun omong kosong yang pria itu berikan, dirinya terus berlari sekuat tenaga hingga matanya tak sengaja menangkap dua sosok yang juga tengah berlari. Tanpa pikir panjang Lilin berbelok mengikuti orang itu.

Terakhir kali yang ia ingat saat menoleh ke belakang adalah seorang pria tua berbadan bungkuk dengan tubuh menghitam layaknya bangkai yang mulai membusuk.

Lavia terisak pelan, "Dia di temuin lima ratus meter dari ujung hutan. Dalam keadaan sekarat, tangan kanannya putus sama kaya jari-jari kakinya."

Dirinya tumbuh bersama sang Kakak yang mengidap gangguan mental. Kadang kala Lilin bersikap seperti gadis normal, namun, gadis itu selalu membahas tentang meminum darah, memanggang daging mabusia ataupun mengitari seluruh desa.

"Gue tumbuh dengan cerita itu, sampai tiga tahun yang lalu kakak gue meninggal bunuh diri," bisik Lavia serak, gadis itu menatap teman-temannya yang sudah memasang berbagai ekspresi, "dia bilang orang Woso nggak akan pernah lepasin dia selamanya."

Lavia mengakhiri ceritanya dengan tangis keputusasaan. Begitupula dengan tiga sahabatnya yang lain, mereka terisak tak berdaya karena mungkin mereka akan menjadi yang selanjutnya.

"Maaf ... seharusnya gue nggak ngajak kalian buat berkunjung ke sini cuma karna rasa dendam yang gue punya," ucap Lavia sembari menunduk, "seharusnya peristiwa dua belas tahun yang lalu biar tetap jadi rahasia."

Fiela tertawa miris, "Seharusnya gue juga nggak ngajak kalian buat sok sok an ngungkap rahasia itu, kan? Seharusnya kita pulang setelah malam itu."

Pelita sudah menangis keras, pikirannya kalut akan hal hal negatif yang terus berputar di kepalanya. Pelita jelas tidak akan menyalahkan teman-temannya, namun, demi apapun dia tak ingin mati seperti ini.

Ona masih menangis dalam diam, ikut menyesali ambisinya akan tanah ini. Dirinya juga tumbuh bersama cerita menyeramkan ini, hal itu membuat jiwa keingintahuannya memberontak keras.

Siapa sangka salah satu dari sahabatnya memiliki cerita seperti ini?

"Seandainya kita nurut apa yang Arsa bilang, apa mungkin sekarang kita lagi seneng seneng di tempat liburan?" Ona bertanya dengan suara yang bergetar, air matanya bertambah deras tak kala mengingat keberadaan Arsa yang entah dimana, "bahkan kita nggak tau gimana keadaan Arsa sekarang."

Dalam keadaan seperti ini Ona benar-benar tidak bisa berpikir hal yang baik. Apa lagi terakhir kali Arsa pergi bersama warga desa ini.

Kata seharusnya dan seandainya terus terucap dari bibir mereka, namun, hal itu jelas tidak akan mengubah apapun.

"Apapun yang terjadi, kita harus keluar dari tempat ini. Kita harus pergi ke arah selatan, seperti apa yang Arsa pernah bilang." Pelita menatap ketiga temannya bergantian, "kita udah terlalu sering nyusahin Arsa ... kita---"

Ucapan Pelita terpotong ketika pintu yang tadi tertutup tiba-tiba terbuka. Menampilkan sosok yang mereka sangat kenali. Mereka membelalakkan mata terkejut saat melihat sosok itu membawa sebilah golok panjang.

...

Arsa terus berusaha sekuat tenaga untuk melepas ikatan tali di kedua tangannya. Pergelangan tangan pemuda itu jelas sudah terluka hingga membuat darahnya sedikit merembes.

"Dikit lagi," bisik Arsa manakala merasa ikatan kuat itu sudah terasa longgar, tidak lagi mengikat erat tangannya.

"Akh!"

Kuatnya tarikan yang Arsa lakukan membuat tubuh tingginya terhuyung ke depan hingga tubuh itu terjatuh dalam posisi telungkup.

Secepat mungkin Arsa berdiri kemudian membuka ikatan kakinya lalu berlari menuju pintu belakang.

"Gue harus pulang."

Arsa yang baru hendak berlari seketika mematung saat merasakan ada entitas lain yang berdiri di belakangnya. Aroma melati yang menyeruak membuat bulu kuduk siapapun yang menciumnya akan bergidik  ngeri.

"Kembalinya sang keturunan murni, wah, apa kau juga akan menyenangkanku seperti ayahmu?"

Suara lembut, tapi, melengking itu memenuhi pendengaran Arsa, dengan gerakan pelan, pemuda itu berbalik. Semakin bergetar saat menyaksikan sosok yang melayang di hadapannya.

Tubuh berbalut kebaya merah kotor dengan sekujukr tubuh menghitam. Rambut panjangnya terurai begitu saja, kontras dengan mata tajam yang bersinar merah.

"N-Nyai Malati."

Tawa melengking itu terdengar oleh Arsa, membuat sekujur tubuh pemuda itu bergetar ketakutan.

"Aku ingin jiwamu, seutuhnya! Separuh saja tak puas untukku! Pria itu akan mati kekeringan, aku ingin mandi darah!"

Perlahan Arsa memundurkan tubuhnya, berusaha untuk melarikan diri dari sosok yang mulai di penuhi amarah.

"Desa ini, akan aku hancurkan bila besok malam mereka tidak memberikan darah yang baru! Akan ku buat mereka mati dan saling menghabisi satu sama lain!"

Arsa yang baru saja hendak berlari lantas berhenti ketika Nyai Malati tertawa sambil mengitari tubuhnya.

"Tapi, ku lihat orang-orang bodoh itu sudah menyiapkan empat tiang sekaligus." Wajah hitam penuh luka itu mendekat kearah Arsa, membuat bau melati semakin menyeruak, "hei, pilihlah, jiwamu atau gadis-gadis bodoh itu."

Secepat mungkin Arsa berlari ketika Nyai Malati menghilang. Pemuda itu berlari menuju satu-satunya tempat yang masih sangat ia ingat.

Lumbung kosong di sebrang sungai, tempat mereka mengurung siapa saja orang yang akan di korbankan.

Sebab ... dua belas tahun yang lalu, Arsa ikut membantu orang-orang ini menyekap enam mahasiswa yang memasuki desa tanpa di undang.

.

.

.

.

loh, kok bisa Arsa ikut(?)
ada yang punya tebakan?
vote dan komen, guys
to be continued.

Woso Tanah Neraka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang