Arsa melangkah keluar dapur saat mendengar suara pintu yang terbuka. Pemuda itu menatap datar keempat gadis yang keluar bersamaan, masih dengan kondisi rambut yang berantakan.
"Rajinnya anak Tante Wida," puji Fiela seraya menggaruk pelipisnya yang terasa gatal. Hatinya sedikit lebih tenang karena aura dapur ini terasa lebih baik daripada kemarin.
Mereka melangkah menuju dapur untuk duduk di meja makan yang berukuran minimalis itu. Bertopang dagu menatap Arsa yang tengah membuat nasi goreng dengan cekatan.
"Emang sialan lo pada," decak Arsa pelan kemudian mematikan kompor. Pemuda itu menatap penuh keempat gadis yang sepertinya sangat kurang tidur, "ambil piring sendiri kalian. Yang nggak gerak, nggak usah makan."
Dengan gerakan kacau mereka berlari menuju rak piring, mengambil masing-masing satu kemudian berbaris rapi di hadapan Arsa yang mulai menyendok nasi.
Arsa mendesah kesal, pemuda itu dengan tak rela mengambilkan nasi goreng untuk mereka kemudian menggiring empat gadis itu untuk kembali ke meja seperti para anak bebek.
"Kalian tidur nggak, sih?" tanya Arsa saat melihat keempat gadis ini sering menguap di sela sarapan.
Ona berdiri untuk mengambil gelas sembari menggeleng pelan, "Nggak nyenyak. Panas banget mana El bilang dia liat penampakan."
"Terus ada suara srek srek!" seru Pelita seraya meletakan sendok dengan agak kasar, "takut."
Arsa berusaha sebisa mungkin untuk tetap terlihat tenang, dirinya masih menunduk berpura-pura menikmati nasi gorengnya yang mulai terasa hambar.
Suara yang di dengar pastilah suara Jero yang menggores bagian depan mobil mereka. Tentu saja itu terdengar mengingat mobil itu terparkir tepat di depan kamar.
"Bukan penampakan!" bantah Fiela yang merasa tidak pernah bilang seperti itu, "gue yakin itu orang, hantu mana yang punya bayangan?"
"Kapan?"
"Pas kita makan mie, El bilang bayangannya berdiri terus di depan pintu," jawab Lavia yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. Hal itu juga di benarkan oleh Fiela dengan cepat.
Arsa menerima gelas dari Ona dan meneguk air dengan tidak sabaran. Itu artinya orang-orang ini sudah mulai memperhatikan mereka sejak matahari mulai terbenam.
"Mungkin warga desa yang penasaran atau mau nyapa gue," ucap Arsa yang ingin memberikan kalimat penenang untuk mereka, "tau sendirilah mereka gimana."
"Aneh, harusnya kan tinggal bertamu. Bukan malah bikin negatif thinking," ujar Fiela yang jelas merasa kesal, tidurnya terganggu pikiran buruk hanya karena perilaku tak wajar warga desa ini. Walau setengah hatinya merasa tidak percaya, namun, itu lebih baik daripada benar-benar ada hantu di tempat ini.
Arsa berdiri karena sudah menyelesaikan sarapannya, "Jangan terlalu di pikirin. Mending kalian mandi, gue nggak sanggup satu atap sama gembel."
Pemuda itu jelas langsung mendapatkan tatapan nyalang dari empat gadis yang mulai menikmati sarapan mereka. Sedangkan yang di tatap hanya memasang wajah tak bersalah.
"Mandi di sungai, yuk," ajak Ona seraya menangkup kedua pipinya, "pasti seger banget!"
"Sungainya nggak boleh di jadiin tempat mandi," ucap Arsa dengan raut wajah datar. Pemuda itu dengan pelan menarik hijab Pelita yang di pasang secara asal, "keramat."
"Kalo liat liat doang boleh?" tanya Lavia dengan penuh harap. Gadis itu memasang wajah memohon saat Arsa terlihat ingin menolak, "please."
Melihat hal itu Arsa mendengus jijik, dengan tak berperasaan meraup wajah sahabatnya dengan kasar hingga membuat kepala Lavia terbentur sandaran kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Woso Tanah Neraka [END]
HorrorKeputusan untuk berlibur setelah kelulusan sebelum berpisah menuju impian masing-masing menjadi sebuah malapetaka untuk lima remaja tersebut. Bukannya menghirup udara segar khas pedesaan yang masih asri, mereka malah menemukan fakta-fakta mengerika...