5.5

19.7K 1.2K 11
                                    

[Clark's POV]

Aku merebahkan diri dan menatap ke langit. Air yang merendam badanku terasa begitu dingin, sama seperti kondisi hatiku. Siapa yang tahu kehilangan seseorang yang kau cintai bisa begitu menyakitkan? Kejadiannya sudah hampir dua tahun yang lalu, tapi lukanya tidak akan pulih. Mereka bilang waktu menyembuhkan segalanya, tapi tidak yang satu ini. Terlalu dalam untuk disembuhkan.

Aku berenang menuju dasar kolam dan mengitari pinggir kolam. Aku suka berada di sini setiap musim dingin dan gugur, karena biasanya tak ada orang selain diriku. Aku tak mau bersesakkan di antara orang lain pada musim panas, lebih baik aku mati.

Bercanda.

Bahkan pada sekarang pun aku hanyalah seonggok badan tanpa jiwa. Hanya tulang, daging, dan darah. Tak ada jiwa. Tak ada harapan.

Ketika aku muncul dari air, aku menghembuskan nafas perlahan. Di seberang sana aku melihat si anak baru sedang membaca sesuatu dari sebuah buku warna hitam. Aku menatapnya sebentar, menunggunya untuk menyadari keberadaanku.

"Aku yakin pernah melihatmu." Ucapku kesal. Bagaimana ia tidak melihatku? Aku memelototinya. Ia menatapku dengan terkejut.

Ia melihatku dari ke atas sampai bawah tanpa malu. Aku menyengir pelan dalam hati.

"Tidak, belum. Kita sama sekali belum bertemu." Ucapnya setelah selesai melihatku. Ia menyelipkan buku hitamnya ke dalam mantel dan bersiap-siap untuk bangkit.

Aku cukup yakin aku pernah melihatnya, walaupun aku tidak ingat. Hampir-hampir seperti deja vu. Sesuatu yang membuatku penasaran adalah bagaimana ia membuatku merasa... hidup. Tapi apa sesuatu itu?

"Kau tak bisa berbohong padaku, Nona." Cibirku sambil berenang ke arahnya. Aku memegang kedua kakinya di dalam air dan menyeringai. Kaki kurus panjangnya terlalu pucat jika ingin dikatakan sehat.

"Terserahmu, Otak Jenius. Sekarang, biarkan aku pergi." Ia menyipratkan air ke wajahku. Aku tak bergerak dan tetap saja memegangi kakinya dengan erat.

"Tidak. Tidak sebelum kau memberitahu siapa kau dan dimana kita bertemu." Ucapku. Aku benar-benar penasaran. Ia hanya menatapku seolah aku adalah orang bodoh.

Ya, aku memang sudah mengetahui namanya. Georgia Puff. Tapi siapa keluarga Puff? Kalau aku tak mengenalnya maka sudah harus dipertanyakan siapa mereka yang sebenarnya. Masalah ia masuk karena beasiswa sudah pasti bohong. Ia memakai baju yang bermerek.

"Sudah kubilang aku tidak -ehh?!" Ia memekik. Aku tak membiarkan dia menyelesaikan ucapannya, aku langsung menariknya ke dalam air. Mari kita lihat apakah dia bisa berenang atau tidak, hm?

Ia menendangku untuk melepaskan pegangan. Tampaknya ia juga bisa berenang. Harus kuakui aku agak kecewa...

Aku menariknya ke arahku. Kacamatanya terlepas dan tenggelam ketika ia menendangku dengan semakin kencang.

"Santai.. Santai saja." Ucapku akhirnya. Aku mengangkat kedua tanganku menandakan aku menyerah.

Krak.

Ia menginjak kacamatanya sendiri tanpa ia sadar sebelum berenang ke atas dan memunculkan kepalanya.

"Apa yang patah?" Ia bertanya sesudah kepalanya muncul di permukaan.

"Kacamatamu patah, Nerd." Jawabku tak peduli.

Ia melihat ke bawah dengan tatapan bingung. Apa ia salah satu nerd yang jika kehilangan kacamatanya sama sekali tidak bisa melihat? Kuharap tidak.

Tiba-tiba saja ia memeriksa mantel basah yang melekat di tubuhnya dan mengeluarkan buku yang tadi dibacanya. Ia segera menepi dan membuka mantelnya. Aku mengikutinya dari belakang.

Nerd? Nahh...Where stories live. Discover now