28.5

6.9K 259 28
                                    

Few years ago

"Kumohon!" Roxy bersimpuh pada kedua kakinya, sudah tak mengetahui namanya sopan santun apalagi harga diri.

Krisis ekonomi dimana-mana, setidaknya ia harus menyingkirkan egonya demi mampu hidup setidaknya untuk sehari ke depan. Perusahaan sudah gulung tikar, mau menggigit beras pun tak mampu.

Ini demi hari-hari ke depan.

Kalimat itu terus diucapkan Roxy dalam pikirannya, diulang berjuta kali layaknya mantra.

Agar penyesalannya tidak terlalu hebat. Agar ia dapat mengatas namakan kemanusiaan.

Meski dalam hatinya ia menyadari, bahwa itu semua hanya alihan sementara.

Dua bayi di pelukannya menangis sesenggukan. Entah mereka memohon sesuatu atau menyalahkan nasib mereka pada sang pengatur. Usia mereka yang terpaut setahun tak membuat banyak perbedaan.

Detik demi detik terus berlalu. Air mata yang dibendung Roxy tumpah, jatuh tepat di pipi kiri sang bungsu. Sambil menangis sang bungsu mengulurkan tangan mungilnya nan berisi, berusaha menggapai wajah ibunya hanya untuk sekadar merasakan eksistensi pelindungnya.

Atau yang seharusnya menjadi pelindung.

Helaan nafas berat terdengar mendominasi ruangan tersebut. "Tuliskan nominalmu." Diulurkannya selembar cek dan sebuah pena dari seberang meja.

Untuk beberapa saat, tak ada yang bergerak. Bahkan tangisan dua buah hati tersebut seolah mereda, membiarkan ibu mereka berpikir ulang mengenai hal ini.

Menjual dua anaknya demi suntikan dana untuk perusahaannya, apa itu hal yang layak untuk dilakukan?

Perang batin Roxy berkecamuk makin hebat. Bagaimana pun juga, dua bayi di pelukannya keluar dari rahimnya sendiri. Mereka adalah versi kecil dirinya serta suaminya, Jamie.

Apa ia rela?

Dengan tangan gemetar ia bangkit, menaruh dua makhluk bebas dosa tersebut di dalam keranjang mereka masing-masing.

Sang sulung menggenggam telunjuk kiri ibunya erat, enggan melepas meski tenaganya tak seberapa.

Mungkin ia tahu, ini adalah kali terakhir ia menjabat sebagai 'anak' dari tangan yang ia genggam.

Jabatan sebagai anak tak berlaku selamanya, ya?

Sang ibu hanya bisa terus meraung dalam kalbunya yang tak berbentuk. Sudah tidak jelas lagi emosi apa yang ia rasakan. Kekecewaan, kesedihan, rasa tidak mau rela, rasa tidak mau berpisah, dan yang paling hebat...

Rasa bersalah.

Siapa dia hingga mampu memutuskan ikatan batin ibu-anak hanya demi uang?

Telunjuk tangan kirinya gemetar hebat. Dengan lembut, hampir tidak ada tenaga, ia menepak tangan sang sulung agar ia melepaskan pegangannya.

Dua keranjang bayi tersebut seolah berlomba untuk menciptakan suara tangis terkeras.

Roxy melangkahkan kakinya, memaksa tubuhnya menjauh dari raungan kedua anaknya. Sulit, tapi bukan tak mungkin.

Moralnya sudah tak pantas diakui lagi.

Ia menuliskan nominal tanpa sepengetahuan Jamie sambil terus mengulangi mantra tersebut dalam hati. Ini keputusannya sendiri, ia yakin ini yang terbaik.

Ini demi hari-hari ke depan.

Diiringi dengan tetes air matanya, ia menyaksikan cek tersebut ditandatangani oleh pria di seberangnya.

Nerd? Nahh...Where stories live. Discover now