Kelas mata pelajaran Matematika siang itu disibukkan dengan proses mengoreksi pilihan ganda yang dilakukan oleh siswa. Jawaban ditulis di papan, siswa tinggal mencoret jawaban yang salah di lembar ujian. Begitu lembar ujian dibagikan dari depan, Zara mendapat lembar milik Rafael. Sudah ada nilai hasil jawaban esai yang tertera. Rafael mendapat empat tujuh. Zara tidak pernah heran dengan itu. Mantan saudara tirinya itu memang tidak begitu peduli dengan pelajaran, tidak seperti dirinya.
"Silakan kalian koreksi jawaban pilihan ganda teman-teman kalian. Yang mendapat lembar milik sendiri, kasih tahu Bapak, agar nanti ditukar. Tulis juga nama kalian sebagai pengkoreksi."
"Baik, Paaak."
Zara mulai bekerja, begitu pula dengan anak-anak XI-MIA-3 yang lainnya. Begitu selesai, mereka juga yang menghitung nilai dari gabungan nilai esai dan pilihan ganda dibagi dua. Setelah selesai, mereka menyerahkan hasil tersebut pada siswa di depan, terus berpindah ke depan hingga sampai di baris pertama. Lembar itu kemudian dikumpulkan menjadi satu dan diserahkan kembali pada Pak Cakra.
Pak Cakra memeriksa sekilas, kemudian memanggil satu persatu untuk maju ke depan. Dan, di situlah momen perut Zara menjadi mulas. Tangannya juga mendingin begitu melihat satu persatu temannya melihat hasil ulangan masing-masing dengan beragam ekspresi. Sesuai dugaan Zara, hasil enam delapan yang diperoleh Rafael tidak membuatnya sedih. Rafael hanya melihatnya sekilas sebelum berjalan kembali ke tempat duduknya.
Andai Zara bisa seperti itu juga.
"Zara Almeira."
Zara meneguk ludah, kemudian bangkit. Zara tidak yakin akan mendapat di atas 95, tetapi setidaknya bukan di bawah 90. Seperti biasa, Zara tersenyum pada Pak Cakra saat menerima lembar ujian.
"Kerja bagus, Zara," ucap Pak Cakra seraya balas tersenyum.
Zara melihat hasilnya, dan senyum itu memudar. Kerja bagus yang disebut Pak Cakra rupanya bukan kerja bagus seperti yang Zara ekspektasikan. Nilainya delapan puluh empat. Apa yang kurang? Padahal semua rumus sudah sesuai prosedur. Ini juga salah satu mata pelajaran yang Zara yakin berhasil ia kuasai.
"Zara?"
Zara terkesiap. Ia segera undur diri setelah bergumam, "maaf" yang kecil. Di kursinya, Zara segera mengecek jawaban. Koreksi itu tidak ada yang keliru. Zara memang banyak salah. Lalu lintas di kepala Zara kini ramai, dengan semua skenario terburuk dari kejadian ini, dan memikirkan bagaimana ia bisa memperbaikinya di masa mendatang. Apakah ia perlu menambah jam belajarnya?
"Untuk materi ini, Bapak tahu banyak dari kalian yang keliru dengan hasil akhirnya. Untuk itulah Bapak ingatkan kembali, jangan langsung puas ketika sudah mendapat jawaban. Cek lagi, dua sampai tiga kali, sebelum memilih jawabannya. Paham?"
"Paham, Paaak."
Selanjutnya, semua terasa buram bagi Zara. Penjelasan ulang Pak Cakra mengenai soal ujian tak bisa masuk ke dalam kepala walau Zara paksakan. Bahkan sampai Pak Cakra meninggalkan kelas setelah bel istirahat berbunyi, Zara masih merasakan semua memburam.
"Ra?"
Zara mengikuti arah suara Abel. Ekspresi wajah Abel berubah panik begitu melihat air mata berlelehan di mata Zara. Dan rupanya, nyaris seisi kelas kini mengetahui bahwa Zara sedang menangis, karena Zara tidak bisa menahan isak. Beberapa siswi berkumpul mengelilinginya, tetapi hal itu malah membuat Zara sesak.
"Kenapa, Ra?" Caca memeluk Zara dari samping. "Jangan nangis, Ra ... gue ikutan sedih, tau."
Zara hanya bisa menggeleng pelan. Tenggorokannya tercekat sehingga tak satu kata pun keluar. Menjadi pusat perhatian seperti ini bukanlah hal yang Zara inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Sama
Teen FictionDari semua hal yang pernah Zara capai selama tujuh belas tahun hidup di dunia, ada satu hal yang sampai sekarang belum terlaksana-jadi peringkat pertama, bukan di kelas, tapi di sekolah. Ini bukan karena Zara berambisi jadi yang pertama atau agar m...