Perahu Retak

17.2K 423 17
                                    

Dua pekan sudah Vivi terbaring dengan kepala terlilit perban putih. Rasa sakit masih sering menyerangnya, namun yang paling parah adalah trauma yang dideritanya. Senja yang disertai hujan ringan menemani perempuan cantik itu yang tengah berupaya mendudukkan tubuhnya dibantu sang kakak.
"Pelan-pelan sayang, jangan terlalu dipaksakan", bimbing sang kakak.
Ibunya segera ikut membantu menegakkan tubuh yang hendak bersandar di kursi. Bibirnya sesekali menyunggingkan senyum manis tanda terima kasih atas segala kasih sayang yang dicurahkan sang bunda dan kakaknya.
"Vi, sudah berkali-kali suamimu menelpon tapi kamu tetap saja tak mau menjawab panggilannya, ibu jadi tidak enak", ucap ibunya memperbaiki letak baju putrinya yang kusut.
"Bu, aku sudah tidak mau berbicara dengannya", ucap Vivi lemah. Pandangannya lurus menatap hujan yang semakin membesar.
"Tapi biar bagaimana dia itu kan suami kamu", balas sang ibu.
"Suami kata ibu??, orang seperti dia masih pantas disebut Suami??", bergetar bibirnya menahan perih dan amarah di dadanya.
"Tapi tidak seperti itu penjelasannya pada kita", sahut sang kakak yang masih penasaran apa sebenarnya yang terjadi.
"Apa yang ia sudah katakan sama Kak Aldi", tanya Vivi kepada kakaknya yang bernama Aldi.
"Sony bilang kalo kamu mau diperkosa oleh rekan bisnisnya ketika ia ke lobby hotel menemui sekretaris orang itu untuk mengambil kontrak kerjasama", Aldi memindahkan bahasa Sony.
"Itu betul, tapi aku mau diperkosa oleh Koh Weh atas persetujuan dia". Ibu dan kakaknya tertegun mendengar penjelasan Vivi.
"Maksudmu atas sepengetahuan Sony?", tanya sang ayah yang dari tadi mendengar percakapan mereka.

Vivi kemudian menceritakan semua secara runtut, mulai dari pertemuannya dengan Koh Weh di rumahnya lalu bertemu di kamar hotel sampai bagaimana ia berhasil melarikan diri. Semua yang mendengar menarik nafas geram.
"Biadab!!!, kalo Sony menunjukkan batang hidungnya aku akan mematahkan lehernya", ucap Aldi bergetar menahan amarah yang membuncah.
Ibunya mendekap Vivi, sejenak keduanya berpelukan menumpahkan air mata keperihan namun bersyukur tidak terjadi apa-apa yang menimpa Vivi.
"Aku akan memanggil Pak Sudiro untuk membicarakan hal ini", tandas sang ayah geram.
"Ayah lihat sendiri kan, dia tidak berani datang kemari!, seandainya dia benar maka ia akan mendampingi aku mulai dari rumah sakit sampai sekarang", kata-kata Vivi meluncur penuh logika tak terbantahkan.
"Malah dia menuduh Nak Erlan dan Nak Digo", Ibunya menyela menghela nafas sambil menyeka sudut matanya.
"Iya, entah bagaimana nasib keduanya di kantor polisi, sungguh kejam", sahut Aldi tanpa tanda-tanda kemarahannya surut.

Mendengar nama Erlan disebut Vivi menangkup wajahnya, ia terisak, "Aku sudah berhutang nyawa pada Erlan, dia sudah rela menyumbangkan darahnya untukku". Sang ayah menghembuskan nafas berat sambil berkata, "Semoga mereka selamat, aku merasa berhutang pada mereka". Ketiganya terdiam masing-masing tenggelam dalam untaian peristiwa yang dialami Vivi.

Keesokan harinya Pak Sudiro berserta isterinya tampak duduk termenung dihadapan kedua orang tua Vivi. Berkali-kali isterinya menyeka air matanya, sementara sang suami nampak termenung dengan dada yang naik turun.
"Pak Hanggareksa, Kami mohon maaf atas perilaku Sony, Kami sangat terpukul mendengar kejadian ini", Pak Sudiro berkata dalam nada berat yang dalam.
"Aku tidak menduga kalo Sony begitu tega melakukannya hanya demi ambisi bisnisnya", ucap sang isteri sambil terisak-isak.
"Jadi apa yang Bapak mau lakukan?", Tanya ayah Sony terdengar putus asa.
"Sejujurnya Kami masih terpukul pak, jadi biarlah keadaan menjadi tenang sambil menunggu Vivi kembali pulih baru kita bicarakan langkah selanjutnya", ujar ayah Vivi penuh kebijaksanaan yang disambut anggukan oleh ayah Sony.

Sementara itu di tempat lain nampak Sony duduk termenung. Entah berapa puluh kali ia mencoba menghubungi isterinya namun gagal. Vivi sengaja memblokir panggilannya. Ada perasaan bersalah dalam dirinya, ditambah lagi Koh Weh yang tidak jadi berinvestasi dalam rencana bisnisnya membuat dirinya semakin terpuruk. Mimpi-mimpinya untuk menduduki barisan terdepan dalam dunia usaha buyar, sementara bahtera rumah tangganya kini diambang kehancuran akibat ulahnya sendiri.
"Bapak belum makan seharian ini", ucap sekretarisnya menyodorkan makanan.
"Makasih, kamu saja yang makan aku nggak selera", jawabnya.
Semenjak kejadian itu, selera makannya menurun drastis, tidurnya tidak nyenyak, dirinya terus dihantui bayangan bersalah kepada isterinya yang sangat ia cintai.

FOLS(Finding Of Love and Sex)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang