Chapter 6: Harapan

129 6 0
                                    

Belum sore, aku sudah pulang ke rumah. Hatiku pedih sekali dan tangisku meraung-raung. Begitulah keadaanku sampai abangku pulang. Ellen yang sedari tadi duduk di sofa –dia berusaha untuk tidak menangis- entah bagaimana bisa menjelaskan hal ini pada Bang Herlas melalui media kertas. Ellen berkata pada abangku dia akan tetap disini sampai malam. Abangku yang tidak bisa berbuat apa-apa, mencoba menghibur tetapi tiada guna. Dia membujukku untuk makan sedikit lalu setelah itu aku boleh melakukan apapun. Memang tidak ada yang bisa mengantikan seorang saudara. Abangku berkata kepadaku jangan menangis terlalu sedih, jika tidakaku bisa syok dan hilang ingatan lagi seperti waktu kematian ayahku dulu. Aku mengangguk.

Tengah malam sudah akan datang, aku bangun dan kembali menangis. Pintuku tiba-tiba terbuka, Ellen masuk dengan wajah marah. Baru kali ini aku melihatnya marah.

"Mau menangis sampai kapan?"

Aku tidak menjawab. Aku masih terisak-isak.

"Sudah berjam-jam kau menangis, apa itu tidak cukup? Apa kau tidak punya rasa malu sebagai seorang laki-laki?"

"Aku tahu itu..... tapi aku tidak bisa tahan...."

"Kalau begitu hentikan sekarang juga."

Ellen mendekatiku dan mencengkeram leherku bagai seorang laki-laki yang ingin menghajar seseorang. Biar marah, matanya berkaca-kaca.

"Setidaknya kau tidak kehilangan seseorang yang kau kasihi selamanya," katanya lalu melepaskan cengkeramnya.

"Dia masih hidup?" tanyaku senang.

"Jika kau ingin tahu, ikuti aku."

Berbekal lentera, aku pergi diam-diam bersama Ellen. Malam di kota sangat gelap, pekatnya malam seperti tinta. Entah kemana Ellen membawaku, yang penting pikiran tentang pembunuhan yang akan dilakukan oleh Ellen kali ini harus dibuang jauh-jauh dari pikiranku. Jalan kami berbelok-belok ke bagian kota di bagian Barat laut kelihatan sangat kukenal namun tidak bisa kuingat. Berblok-blok kami lewati dan jam tengah malam sudah berbunyi sedari tadi. Beberapa kali aku mematikan lentera, menghindari tukang ronda malam. Tak lama, kami sampai pada sebuah bangunan besar yang luluh lantah. Lenteraku tidak cukup menerangi bangunan itu seluruhnya.Rupanya itu rumah bekas kebakaran yang sangat parah. Semua puing sudah menghitam. Hanya satu bangunan berupa kamar yang masih berdiri, itu pun atapnya hampir ambruk.Jalan masuk ke kamar itu cukup besar untuk dimasuki pria dewasa.

Aku melangkahi beberapa kayu gelondongan hitam menuju kamar itu. Terlihat seikat bunga diletakkan di atas salah satu kayu gelondongan disana.Sudah layu dan lama sekali mungkin. Saat masuk, tiba-tiba saja langit kamar itu yang berlubangmenyingkap bulan purnama yang sangat terang berderang. Memang sedari tadi awan mendung menutupinya. Sinar bulan itu pas menyinari kamar itudi tengah-tengahnya. Tidak perlukuhidupkan lagi lentera.

"Dimana dia?"

"Tunggu saja," katanya. "Mungkin lama. Kita tidak tahu, yang pasti akan."

"Akan apa?"

"Lily muncul disini. Kita tunggu saja."

Kami duduk terpisah dalam jarak seberang. Dia membuka buku, membolak-balik lalu menutupnya kembali. Sikap yang aneh menurutku. Meski ngantuk, aku berusaha untuk tidak tidur. Tunggu, terpikir di kepalaku seharusnya hantu anak-anak tidak dapat muncul dimalam hari. Segera kutanyakan ini padanya.

"Kenapa kau bisa muncul dimalam hari? Seharusnya tidak bisa."

"Rahasia."

"Kenapa rahasia?"

"Rahasia."

"Apa kau hantu anak yang special?"

"Rahasia."

Rainy Ghost (Indonesia)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt