Chapter 7: Persiapan

133 6 0
                                    

Meski sudah kujelaskan berkali-kali, Lily masih saja penasaran. Penuh nekat, dia ingin bertanya pada Ellen terang-terangan. Waktu itu langit tidak terlalu mendung dan matahari terbenam dapat terlihat jelas. Ellen sedang menikmati kesendiriannya sampai Lily memanggilnya. Dia melihat pada kami.

"Naiklah kemari."

Perkataan itu seperti sugesti membuat kami segera menaiki kotak-kotak yang tidak terlalu tinggi itu. Ellen menggeser ke kanan, memberi kami ruang. Aku duduk di paling kiri, lalu Lily dan Ellen. Kurasa sekarang aku dapat mengerti kenapa Ellen sangat suka duduk di tembok tinggi ini, sinar matahari sore itu begitu indah dan menawan. Langit-langit yang gelap seakan terusap air matanya oleh kecermelangansinarorange itu, belum lagi sekitarnya yang seperti dilapisi emas murni. Di mata kami, kota dan langit emas tiada dapat diungkapkan dengan kata-kata.Belum lagipemandangan tenggelamnya matahari itu nantinya ketika kami bercakap-cakap akan memperlihatkan warna kemerah-merahan darah dan api yang membakar apapun yang ditinggalkannya.

"Jadi kau ingin tahu apa yang terjadi?"

"Ya. Aku lupa apa yang terjadi."

"Sebelum itu, aku ada permintaan."

"Apa itu?"

"Aku ingin kau dan Christan menyiapkan sekantung besar garamuntukku setelah kujawab pertanyaanmu nanti."

"Untuk apa?" tanyaku kaget.

"Bawakan saja."

Lily berjanji tanpa meminta persetujuanku. Aku hanya bisa menerima dengan pasrah. Bukan berarti aku tidak ingin menyiapkannya, hanya ini sedikit aneh.

"Arsel tidak akan kembali ke dunia ini lagi. Dia sudah pergi untuk selama-lamanya," terang Ellen. "Kau telah membantunya menemukan kenangan berharganya yang mampu membuatnya kembali ke dunianya."

"Aku tidak ingat."

"Menurutku, kau menyandung sebuah batu yang menyembunyikan sebuah kotak harta yang menyimpan 'Ini'," kata Ellen, mengeluarkan sebuah kertas kusam seukuran HVS, bertuliskan 'Impian' dengan rincian rancangan bisnis yang lebih lengkap serta orang-orang yang memegang jabatan itu. "Aku kesana kemarin. Kukembalikan semua seperti semula, kecuali kertas ini."

Aku dan Lily tidak mengerti isi kertas itu. Sepertinya sebuah rancangan bisnis yang rumit, akan kutanyakan pada abangku, pikirku. Di kertas itu, jelas-jelas Arsel akan menjadi seorang editor kelas kakap namun itu sudah tidak mungkin. Kurasa inilah kenangan paling berharganya bersama ketiga temannya. Entah kisah apa yang terjadi di antara mereka, kurasa kisah sedih sebab sudah diceritakan Arsel kalau dia punya dua teman baik yang artinya dari keempat orang: 3 orang meninggal dan hanya 1 yang hidup, saksi hidup untuk cerita yang menyedihkan ini.

"Jadi begitu kisahnya."

"Kau yang tidak mau percaya pada ceritaku," kataku.

"Ceritamu tidak ada bagian aku menyandung sesuatu."

"Karena aku tidak melihat terlalu jelas. Saat kutiba, hanya kulihat Arsel sedang membaca kertas itu lalu menghilang."

"Ini salahku Arsel menghilang," kata Lily mulai menitikkan air mata. "Kalau saja aku tidak tersandung... Kalau saja aku tidak tersandung...."

"Ini bukan salahmu," kata Ellen lalu mengelus kepala Lily. "Sekarang dia sudah kembali, kita pun harus segera kembali juga.Sudah terlalu lama kita disini."

"Tapi aku takut... Aku takut mati...."

"Kau sudah mati. Kita sudah mati," kata Ellen. "Tidak ada lagi yang tersisa untuk kita di dunia ini."

"Tapi... tapi...."

"Kau tidak pergi sendirian. Arsel sudah disana, dan ada aku disini bersamamu," kata Ellen dengan ramah. Lily yang masih ketakutan itu bersandar pada pundaknya.

Rainy Ghost (Indonesia)Where stories live. Discover now