#4

28.1K 1.9K 8
                                    

Andi Harungga POV.

Aku membayangkannya lagi. Akhir-akhir ini kenapa aku sering membayangkannya? Melihatnya dalam wujud Arin. Apa aku sudah mulai tidak waras? Atau karena aku begitu merindukannya?

Sebisa mungkin aku tidak menghubunginya. Dan ini sudah hampir dua bulan aku tidak mengetahui kabarnya sama sekali. Aku menelfonnya dua bulan yang lalu, dengan Video Call. Wajahnya tidak berubah. Ehm... Berubah...ia makin cantik. Tubuhnya lebih berisi. Kurasa ia sangat bahagia sekarang. Tentu saja Bram selalu memperlakukannya dengan sangat baik. Coba saja kalau berani membuat wanita itu menangis, ia pasti akan sangat menyesal.

Dan sekarang aku dipusingkan dengan Arin. Sungguh, aku hampir saja lepas kendali kalau saja ia tidak bersuara memanggil namaku.
Kesadaranku dengan cepat kembali menguasaiku. Benar, ia Arin! Bukan Vien!

Dan sekarang aku harus menenangkan Arin karena ia sangat terluka saat aku menyuruhnya pulang, dan berniat mengantarnya.
Aku tau, ia sangat mencintaiku. Bukannya aku kepedean, tapi aku tau ia sangat menyukai sentuhanku. Ia memujaku sekarang.

Aku harus menenangkannya. Aku harus kembali mengalah padanya.
Namun, lagi-lagi aku hampir terjebak oleh pertanyaanku sendiri saat kutanyakan apakah ia sangat menginginkan menikah denganku dan tidak akan menyesal. Pertanyaan yang seharusnya tidak kuajukan padanya. Aku tau dengan pasti apa jawabannya. Dan aku menanyakannya! Ini bodoh! Ini sama saja membuka rahasiaku, misiku sendiri!

Untunglah jawabannya masih membuatku bernafas lega. Ia tidak menuntutku menjawab apakah aku mencintainya dan menginginkannya menjadi istriku atau tidak. Untunglah ia menyimpulkannya sendiri.
Aku tidak dapat membayangkan seandainya ia menuntutku mengatakannya.

Kurasa aku harus secepatnya pulang ke Indonesia sebelum aku menjadi gila.
Gila karena merindukan seseorang disana.

@@@@@@@@@@

Panggilan untuk boarding sudah terdengar. Arin tampak keberatan berpisah denganku. Tapi ia berusaha untuk memahamiku.

Seandainya dia tau ia sedang berusaha memahamiku karena aku merindukan adik cantikku di sana, entah apa yang akan terjadi.

Arin memelukku erat. Melingkarkan lengannya ke leherku. Aku tau keinginannya. Aku tersenyum menuruti kemauannya.

Kucium bibirnya, kucecap rasa manis dan lembutnya. Ia nampak kecewa ketika aku melepaskan ciumanku.

"Aku tidak akan lama, Sweety," kataku mengusap airmata yang sudah membasahi pipi mulusnya.

"Janji untuk selalu memberi kabar padaku?" tuntutnya setengah merajuk.

"Tentu, Honey," kukecup pipi kanannya, dan ia merona malu.

"Cepat kembali, jangan lama-lama! Dan jangan lupa untuk kembali kemari," ujarnya membuatku terkekeh.

"Hei, aku bahkan belum berangkat, Sweety. Baiklah, aku akan ingat semua kata-katamu. Bye," kuacak dengan gemas poninya.

Aku melangkah masuk dengan cepat, membalikkan badanku dan melambaikan tanganku kearahnya sejenak lalu dengan setengah berlari aku memasuki tempat pemeriksaan tanpa menoleh lagi.

Seperempat jam kemudian, aku sudah berada di dalam pesawat yang akan membawaku ke Indonesia. Tidak sabar untuk melihat lagi wajah cantik adikku dan senyum teduh mama Rianti.

Kupejamkan mataku, menembus alam mimpi yang memutarkanku bunga tidur bak film layar lebar dengan pemeran utamanya aku sendiri.

@@@@@@@@@@

Rumah besar itu masih sama. Kokoh dan manis dengan gaya sentuhan minimalis modern.

Satpam rumah ini sudah ganti rupanya. Dulu saat aku datang pertama kali kemari, dua security dengan cambang dan kumis tebal yang menyambutku. Tapi sekarang, tampak dua security berbadan tegap dengan kumis tipis dan wajah bersih tampak menghadangku.

Sense for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang