#7

36K 2.2K 13
                                    


Buat readers sekalian, aku mi ta maaf banget baru bisa update lagi... Ada sesuatu hal yang bikin aku lama gak update... Tapi kali ini aku update buat kalian... Special... Fresh from the oven....

Ok.... Cekidot.....


Andi Harungga POV.

Arin menghilang! Aku tidak dapat menemukannya. Apakah aku harus meminta bantuan temanku lagi?

Aku takut Arin melakukan sesuatu yang mengerikan lagi. Aku tau, ia mendengar pembicaraanku dengan Vienetta dua hari yang lalu. Alfred memberitahukan kehadirannya padaku. Dan bodohnya, aku tidak mengetahui kedatangannya. Aku terlalu fokus pada permintaanku untuk Vienetta agar ia bisa datang beberapa hari lebih awal ke London sebelum pernikahanku. Aku merasa harus berbicara dengannya. Kurasa itu akan menguatkanku.

Dan kemana Arin sekarang tidak ada yang tau. Papa dan Mama Arin hanya mengatakan bahwa Arin minta ijin untuk berlibur di rumah temannya dan memintaku tenang. Tapi bagaimana aku bisa tenang? Yang kutau, Arin tidak mempunyai banyak teman di sini.

Bahkan siapa saja temannya pun aku tidak tau.
Terus terang aku kalut mendengarnya pergi tanpa pamit padaku. Kuhubungi ponselnya berkali-kali, tapi tidak diangkatnya. Bahkan tidak jarang ponselnya mati.

Aku sudah mencarinya di tempat-tempat yang biasa ia datangi. Termasuk galeri Naya.

Segera kuambil ponselku dan kuhubungi seseorang yang selama ini selalu membantuku.

"Bob, gue butuh bantuan lo," ujarku langsung setelah kudengar sapaan dari seberang.

"Kali ini siapa, my bro?" kudengar ia terkekeh.

"Arin!"

"Ada apa dengan calon istrimu?"

"Dia menghilang. Aku takut ia berbuat yang tidak-tidak," sahutku cemas.

"Takut ia berbuat yang tidak-tidak atau takut ia kenapa-napa?" tawanya terdengar jelas mengejekku.

"Huh! Dua-duanya," akhirnya kujawab ejekannya dengan kesal.

"Kurasa kamu mulai merindukannya, Brother!" kekehnya geli.

"Aku tidak tau. Yang pasti, aku mencemaskannya," gumamku bingung dengan perkataan Bobby. Apa benar aku merindukannya?

"Akan ku kabari secepatnya, my bro. Kamu tenang saja. Tapi saranku, cobalah berdamai dengan dirimu sendiri," ujarnya bijak. Bobby memang selalu membantuku selama ini. Aku berhutang banyak padanya. Kurasa hanya dia satu-satunya teman yang pengertian padaku. Loyalitasnya sangat tinggi padaku hanya karena aku pernah menyelamatkan nyawanya dulu ketika kami masih SMP.

"Aku juga ingin seperti itu Bob. Doakan saja," ujarku mengakhiri pembicaraan kami.

Aku mengacak rambutku gelisah. Semua yang kulakukan terasa salah. Aku benar-benar kalut. Jujur, aku merindukan kemanjaannya. Ada yang hilang saat ia tak lagi manja padaku. Yes, I miss her!

@@@@@@@@@@

Aku segera ke Dunster begitu mendengar kabar dari Bobby tentang keberadaan Arin tiga hari setelah aku meminta bantuannya. Tiga hari yang cukup memusingkan baginya karena hampir tiap dua jam sekali aku menghubunginya menanyakan kabar keberadaan Arin.

Dan kini, alamat sudah berada di tanganku. Ternyata ia sedang berada di rumah temannya. Menurut Bobby, mereka berteman tidak cukup dekat, hanya saja mereka sudah berteman sejak meteka masih sekolah dasar.

Rumah itu tampak sederhana. Bagaimana bisa Arin tinggal di rumah itu? Ia terbiasa hidup serba berkecukupan, dan hampir seminggu ini ia hidup di rumah yang kecil dan tanpa fasilitas mewah.

Sense for YouWhere stories live. Discover now