15 - Black Coffee

605 38 11
                                    

"Denger ucapan gue baik-baik, Brengsek." Suara itu terdengar sangat mengintimidasi. Suasana yang membuat setiap orang menahan nafas.

"Siapa yang brengsek?" Tanya yang lain-nya sarkastik. Tak takut sedikit pun, bahkan malah merasa muak.

"Shit!" Umpatan kembali terdengar. "Setelah lo rebut bokap-nyokap, lo bikin gue putus asa karena orang yang gue cinta ninggalin gue demi lo..."

Sebentar hening, kedua lelaki itu sama-sama melotot seakan ingin memuntahkan segala kemuakan dalam dirinya. Suasana semakin menusuk, ketika lelaki yang satu melanjutkan perkataannya.

"SEKARANG LO MAU REBUT CEWEK ITU? HAH?! NGGAK PUAS LO?"

Sudah cukup. Buk!

Tak mampu menahan emosi, lelaki yang lain meluncurkan satu pukulan yang cukup kuat. Mampu membuat lelaki yang dipukul tersungkur.

"Hah, hebat, berani mukul gue." Tangan-nya memegang pipi yang tertikam.

"Lo masih bisa bilang begini, ya?" Lelaki berambut cepak itu menatapnya murka dan muak. "LO MASIH BISA BILANG BEGINI DISAAT CEWEK ITU UDAH KAYAK DEPRESI KARENA LO?!" Lanjutnya berhasil membuat ekspresi lawan-nya mengendur.

"Harusnya gue yang nanya! Maksud lo apaan, bikin sampai dia mirip mayat hidup begitu?" Tangan-nya tanpa bisa ditahan, mengusap kasar wajah, merasa bimbang dengan semua ini.

Akhirnya, Ia memutuskan tenang. Tak ingin dipenuhi emosi, Ia menghirup udara banyak-banyak. Lalu jongkok dihadapan lelaki yang sekarang terlihat memijit batang hidungnya. Mereka terlihat sama-sama frustasi.

"Dengar," Lelaki itu mendongak dengan eskpresi datar. "Nggak bisa apa lo berdamai dengan masa lalu? Gue bener-bener nggak tau lagi mesti apa."

Desahan frustasi kembali terdengar. "Gue cuma ikut sedih ngeliat dia kayak gitu! Dan seharusnya gue mukul lo sekali lagi, mengingat dia kayak gitu karena lo."

Ucapan terakhir membuat lelaki yang tadinya mulai mengendur, kembali menatap sinis dihadapannya.

"Gue nggak tau apa maksud lo bikin dia sampai kayak gitu, tapi lo berhasil jadi egois."

Merasa cukup dipojokan, lelaki itu kini mendorong bahu lawannya dan bangkit berdiri. Emosi dan keegoisan semata kembali menguasai dirinya.

"Tau apa lo tentang menjadi korban egois? Yang lo tau cuma; disayang bokap-nyokap, selalu dibanggain, dikenalkan kepada orang-orang di kolega idiot-nya menggunakan nama belakang dengan sok bangga,"

"Kayak belom cukup, lo dapet cewek tulus setelah mencampakkan cewek lain yang tergila-gila sama lo. Oh bukan, tapi mencampakkan cewek yang menjadi gila karena lo!" Lelaki itu menunjuk-nunjuk lawannya.

"Dan yang terparah, cewek gila itu adalah cinta pertama gue! EMANG LO KIRA, LO NGGAK EGOIS, HAH?!"

"Oh iya, gue lupa. Hidup lo bahkan terlalu sempurna untuk dijuluki egois!" Dan berakhir sarkastik.

Mereka berdua sempat terdiam. Menahan rasa nyeri dihatinya. Bertanya pada nasibnya, mengapa menjadi rumit seperti ini? Tak bisakah nasib mereka layaknya keluarga biasa?

"Udah gue bilang, berdamailah dengan masa la-

"ENAK CUMA NGOMONG! Yang ngerasain disini gue! Bagaimana selalu jadi yang kedua, bahkan cewek yang gue cinta milih elo!"

Lelaki yang dibentak terkejut setengah mati, melihat dihadapannya mulai meringis dan mengeluarkan air mata. Tanpa isakan, namun air mata itu mengalir begitu saja.

Konyol, kenapa gue pake nangis segala. Kayak cewek aja.

"Lo yang egois," Kini hanya lirihan, tetapi penuh emosi terpendam. "Gue nggak pernah ngerasain hidup dengan orang yang mencintai gue."

Perfect TwoWhere stories live. Discover now