11. Broken (Rizkyta)

3.7K 259 4
                                    

Setelah bertengkar dengan Bian, dijemur di tengah lapangan, kena marah papa, dan dipalak preman bau, tragedi hari ini tak berhenti sampai di sini. Aku bersyukur tadi aku diselamatkan, tapi kalau ujung-ujungnya begini aku keberatan.

Jantungku bertalu-talu gelisah saat Pak Dimas memaksa agar aku mau diantar pulang sampai ke rumah. Aku menolak bukannya tak mau, aku hanya takut jika di rumah ada Bianca. Bagaimana jika guruku tahu Bianca adalah gundik papaku? Tadi Bianca pergi bersama papa kan? Demi Tuhan, aku tak ingin Pak Dimas melihatnya.

"Ini rumah saya Pak." Kutepuk pelan bahunya agar motor berhenti. Aku segera turun, melepaskan jas dan helm yang kupakai. Tiupan angin membuatku sedikit menggigil karena dingin. Sebagian pakaianku basah terkena cipratan air.

"Ini rumahmu?" tanyanya seolah tak yakin.

Aku mengangguk cepat.

"Kenapa sepi sekali? Tidak ada satpam?" aku melirik pos satpam yang tak berpenghuni.

"Papa saya belum pulang, satpam sedang ke toilet mungkin" jawabku. Pak Dimas mengangguk-ngangguk mengerti.

"Bapak mau mampir?" tawarku basa-basi.

"Memangnya boleh?"

Duh, aku kan gak serius nawarinnya!

"Eng...."

"Nanti sajalah, kapan-kapan. Rumahmu sepi begitu gak mungkin saya mampir."

Aku nyengir. Dalam hati mengucap syukur lega. Utung saja....

"Sebenarnya saya pengen banget ketemu Ayah kamu."

Pak Dimas kenapa nada bicaranya seperti itu ya? Ih geli. Oh, aku hampir lupa kalau dia ini guru genit.

"Tapi beliau kayaknya gak ada," lanjutnya lagi. "Obati lukamu ya Riz, cepat mandi dan ganti pakaian. Jangan sampai sakit. Masa baru masuk sekolah sehari udah mau bolos lagi."

"Iya."

"Saya pulang ya Riz?"

"Iya."

Pak Dimas tersenyum menatapku geli. "Apa kamu kalau bicara selalu begitu? Kayaknya kamu bicara gak pernah lebih dari enam kata."

"Ponsel Bapak nanti saya ganti." Ujarku gak nyambung. "Jangan nolak, Bapak kan udah nolong saya. Bapak pasti perlu, kan?"

"Terima kasih" katanya.

"Saya yang harusnya bilang makasih. Hati-hati ya Pak." Lanjutku kemudian. Kalau tidak begitu ia pasti melanjutkan obrolannya.

Pak Dimas mengangguk dan melemparkan senyum. Motornya melaju menjauhiku. Asap pembakaran knalpotnya menguar bercampur dengan rintik hujan yang tak kunjung reda. Aku masih memerhatikan sampai Pak Dimas tak tagi terlihat saat berbelok di tikungan.

Setelah ia benar-benar lenyap dari pandangan mata, aku kembali melangkah. Rumahku lima rumah setelah rumah ini. Ini bukan rumahku, sengaja memang aku turun di sini untuk menghindari hal yang tak kuinginkan.

***

Sampai di rumah Mbak Reni langsung menyambutku pulang. Segelas cokelat panas yang ia siapkan, lumayan menghangatkan tubuhku yang kedinginan. Mbak Reni usianya berselisih 10 tahun lebih tua dariku. Bersamanya aku seperti memiliki seorang Kakak. Dari caranya memerhatikanku, melayani dan mencukupi kebutuhanku, aku tahu itu bukan sekadar kewajiban tapi...rasa kasihan.

"Tangan Non Kiki kenapa merah-merah begini, itu juga kakinya lecet biru-biru. Jatoh?"

Aku mengangguk mengiyakan. Tak ingin membuatnya khawatir. Lebih tepatnya aku tak ingin dikasihani. Karena jika aku tahu mereka mengasihaniku, aku benar-benar seperti orang yang menyedihkan.

My Ex StudentWhere stories live. Discover now