12. The Rain

7K 361 38
                                    

Kebahagiaan itu sederhana, selama hati mau menerima apapun yang kita punya. Aku mungkin bukan orang kaya. Bukan orang yang jika menginginkan sesuatu, tinggal bicara dan apa yang diinginkan tersedia di depan mata.

Aku bersyukur dalam keadaan hidup sendirian dan jauh dari keluarga aku masih memiliki Andre, Gilang, dan Roni. Manusia-manusia yang tak memiliki peta untuk kehidupan masa depan. Para dewasa muda konyol yang menghabisan sebagian besar waktu dan uangnya untuk mencari pengalaman.

Pengalaman pada perempuan, petualangan, sampai sok jadi super hero mengalahkan preman.

Pernah, dulu sepulang dari tempat nongkrong untuk sekadar ngopi dan mencari tahu alamat kos gadis yang ditaksir salah seorang dari kami, kami bertemu dengan seorang mahasiswi spesies ayam kampus yang diserang preman. Naluri melindungi kami muncul, meski sebenarnya aku sedikit malas membantu perempuan seperti itu. Untuk apa ditolong, toh dia sendiri yang mengumpankan dirinya.

Tapi akhirnya kami membantu juga. Melawan preman-preman bertubuh Agung Hercules dan menjauhkannya dari si gadis. Meski akhirnya kami babak belur dan gadis itu pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Tubuh babak belur, dimarahi orang tua, ditegur dosen karena disangka terlibat tawuran, sudah jadi makanan sehari-hari. Begitulah dulu aku hidup. Hidup hanya untuk hari ini dan bersenang-senang seolah takut akan mati besok.

"Ardian! Ardian!" Andre memanggil tak sabar. Di rumah kontrakanku yang sempit ini, Andre, Gilang, dan Roni sedang berkunjung entah untuk tujuan apa. Sedari tadi mereka hanya tiduran di kamarku, mengacak-ngacak koleksi dvd-ku, dan menyusup ke dapur mencari makanan.

Oh ya, dan mereka memanggilku Ardian bukan Dimas. Alasannya sederhana, dulu merka juga memanggilku Dimas, tapi karena mereka seling mengucap asal namaku menjadi Mamas. It's so iyuh. Kalau kamu orang Sunda kamu pasti tahu mamas itu artinya apa. Karena itu kupaksa mereka memanggil Ardian.

"Apa sih?!" kataku sebal karena tiga kadal buntung ini terus mengangguku yang sedang membereskan berkas milik sekolah.

"Lo gak punya makanan?" tanya Andre sambil membabi buta mengcek isi kulkas dan lemari dapur.

"Gak ada. Udah tahu gue miskin malah minta makan ke sini!"

"Lo punya kompor gas tapi gak punya beras." Katanya sambil terus membongkar isi lemari dapurku.

"Jadi, lo jual ponsel buat makan?" tanya Gilang tiba-tiba.

Oh ya, ponsel! Seharian ini aku tidak memegang ponsel karena hilang.

"Bukan sih, ada kecelakaan tadi."

"Lo dicopet?" tanya Roni yang tiba-tiba mengagkat wajah dari majalah yang dibacanya. "Emang ada yang mau nyopet elo?" katanya yang membuatku melemparkan segulung koran.

"Ceritanya panjang."

"Dan sepertinya lo juga harus menyiapkan alasan yang panjang." Andre datang dari arah dapur menyodorkan ponsel canggihnya yang tengah berdering oleh panggilan.

Dari Ayahku.

"Lo aja yang ngomong deh, bilang ponsel gue hilang."

Ucapku seraya meningalkan mereka bertiga menuju kamar. Ayah, lelaki paling kucintai orang yang selalu kurindukan tapi juga kuhindari. Kuhindari karena beliaulah yang menyebabkanku begini. Ayah yang menempatkaku dalam keadaan ini.

***

Ketukan terdengar pelan dari balik pintu kamar. Biasanya kalau ketukannya pelan tidak bergairah seperti ini temanku akan menyampaikan kabar buruk. Begitu kubuka pintu, seringai licik Andre terlihat di wajahnya.

My Ex StudentWhere stories live. Discover now