Kehidupan Cinta 1

14.5K 298 31
                                    

'Waktu perjalanan terasa menyenangkan,' pikirku dalam hati ketika aku melewati pintu Rumah Sakit Dharmais, Jakarta untuk ketiga kalinya dalam tiga hari ini.

Kali ini kami menuju lantai satu, Ruang 109. Koridor tempat tujuan kami penuh sesak, ketika kami hendak membaur di tengah keramaian tersebut, seorang laki - laki uzur, yang mengenakan rambut palsu mencolok, menunjuk ke arah pintu dengan tongkat jalannya.

"Kalian harus pergi kesana terlebih dahulu, dan beritahu mereka bahwa kalian sudah datang."

Kami mengangguk dan dengan gugup memasuki Ruang 109. Prof. DR. dr. A. Harryyanto R, SpPD, KHOM, begitu yang tertera pada papan kecil di samping pintu, beliau adalah dokter penyakit dalam khusus hematologi dan onkologi klinik.

Ruangan inilah ruang tunggu yang sebenarnya , sementara koridor tadi hanya tempat untuk menampung kelebihan pengunjung, aku bisa melihatnya sekarang. Ketika kami masuk, rata - rata usia pasien merosot drastis hingga beberapa dekade. Kami mendapat tatapan intens dan iba dari pasien - pasien lain. Rumah sakit ternyata memiliki hierarki. Jelas sekali kami adalah pasien baru disini, kami adalah wisatawan rungan tunggu, dan kami bukan bagian dari tempat ini. Namun gangguan pada sum sum tulang Arya berkata lain.

Seorang peremupan berusia 60 tahun dalam kursi roda rumah sakit, dengan tangan yang tinggal tulang berbalut kulit dan memegang kartu yang sama untuk bertemu dengan dr. Harry melihat ke kami dan mengamati kami dari atas ke bawah secara terang-terangan. Saat aku menyadarinya aku jadi berpikir bahwa aku dan Arya masih muda, rupawan dan bugar melebihi nenek itu. Tidak hanya nenek itu 3 orang pasien di ruang ini melihat kami seakan akan ada yang salah dengan kami. Bahkan tak usah membayangkan selama sejenak pun mengenai kami yang menetap disini, kami akan segera keluar dari bangsal ini secepat mungkin.

Namun, bahasa tubuhku tidak mau bekerja sama dan memperlihatkan kegelisahanku. Rasanya seperti melangkah masuk ke sebuah club malam di kota kecil dan menyadari dari tatapan tatapan menghina. Arya pun saya lihat tidak merasa nyaman dengan situasi ini. Kenyataan sebenarnya yang harus kami terima bahwa kami adalah bagian dari tempat ini.

Di Ruang 109 ini juga ada meja resepsionis, seorang perawat yang duduk di baliknya tampak dapat membaca pikiran kami. Dengan cepat ia bertanya apakah tidak lebih baik jika kami duduk di ruangan kecil sebelah. Tepat pada waktunya, karena dari sudut mataku aku bisa melihat kalau teman hidup ku Arya yang menangis lagi. Benar - benar melegakan karena tidak harus berdesak - desakan di antara mayat-mayat berjalan di ruang tunggu atau koridor.

"Pastinya merupakan pukulan hebat, kemarin lusa," kata si perawat ketika ia kembali dengan membawa kopi.

Aku langsung memahami kasus Arya Wirasena Putra Sasongko telah mencuat dalam rapat mereka. Perawat itu menatap Arya kemudian menatapku. Aku mencoba untuk menahan diri. Seorang perawat yang baru saja kutemui tidak boleh betapa menyedihkannya diriku.

***

Aku seorang atlet nasional bola basket yang hedonis, Sisi hedonis di dalam diriku terpesona oleh Arya dan dengan segera terpikat dengannya (Hedonis pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan). Namun dari awal ia agak kurang senang dengan kegelisahanku akan monogami. Awalnya ia merasa simpatik terhadap hal itu dan mendapati bahwa hubunganku yang penuh perselingkuhan baik dengam wanita maupun pria sebagai sesuatu yang menggelikan dan melihatnya sebagai sebuah tantangan daripada sebuah peringatan.

Sampai satu tahun kemudian, kami belum hidup bersama ketika ia mengetahui bahwa aku melakukan hubungan intim dengan Bagas Tyaga Wirasena , juniorku di tim basket salah satu club di Jakarta. Setelah kejadian itu, Arya langsung yakin bahwa aku tidak akan pernah setia atau berupaya untuk setia.

Kehidupan Cinta (Antara Kesetiaan, Cinta dan Kanker)Where stories live. Discover now