Kehidupan Cinta 3

2.3K 110 3
                                    

Sesampainya di rumah, aku kembali menelepon Chandra dan memastikan kepadanya bahwa Arya benar mengidap leukimia.

"Ya Tuhan." tanggapan ringkas Chandra.

Arya menelepon Kara. Ia memberitahu sahabat perempuannya itu apa yang terjadi. Dalam waktu satu jam Kara dan Graha sudah berdiri di depan pintu rumah kami. Kara memelukku lama dan kemudian, masih mengenakan jaketnya, bergegas ke ruang keluarga dan memeluk erat Arya. Arya mulai menangis lagi. Graha memelukku dengan canggung.

"Kau harus kuat, kawan." ia berguman.

Graha lalu masuk ke dalam dan tidak berani menatap Arya. Ia berdiri menatap lantai. Bahunya merosot dengan kedua tangan di saku, ia masih memakai setelan kerja lengkap dengan dasinya.

Kara sungguh bijaksana. Ia menyarankan agar kami menuliskan semua pertanyaan yang akan ditanyakan kepada dokter besok. Kami memutuskan bahwa itu ide yang baik. Kami berempat mempertimbangkan semua hal yang ingin kami ketahui. 

Kara dan Graha pulang pada pukul empat sore, tepat saat mamah datang dengan membawa rantang. Di halaman depan mamah tampak berbincang dengan Kara dan Graha. Senyuman mamah sungguh luar biasa. Beliau seorang psikolog dan dosen di salah satu universitas negeri di Jakarta. Tidak heran mamah dapat menerima kami berdua dengan cepat pada saat itu.

"Obat yang paling mujarab adalah kasih sayang dan perhatian, kamu harus sabar." mamah berbisik kepada ku sambil memeluk aku.

Aku masuk bersama mamah, lalu mamah memeluk Arya yang sedang membuka internet untuk mencari informasi tentang penyakitnya. Mamah memeluk anak bontotnya itu tetap dengan senyuman. Sementara Arya kembali menangis. 

Aku jadi teringat saat aku mengelak memiliki hubungan dengan Arya.

"Nak tante, tahu kamu memiliki hubungan dengan Arya kan?" mamah bertanya seperti itu aku mengelaknya.

"Nak, kamu tahu siapapun yang hidup di dunia adalah seorang aktor yang sangat buruk. Itulah sebabnya mengapa kita semua diberikan rentang hidup untuk belajar berakting sebagai diri kita sendiri." Aku hanya diam mendengarnya pada saat itu.

"Apakah nak Verza merasa merasa bahwa telah menjadi sesoarang yang nak Verza kehendaki?"

"Maafkanlah diri kita sendiri, bila kita bukan menjadi seseorang yang kita kehendaki. Keluarkan foto sewaktu kita masih bayi, pandanglah foto itu dan ampunilah diri kita sendiri. Lalu setelah itu lanjutkanlah menjadi orang yang kita kehendaki."

Pada saat itu aku hanya bisa menarik napas panjang dan tersenyum.

Aku salut dengan mamah selama di rumah tidak sekali pun membahas tentang kanker. Mamah membawa makanan kesukaan aku dan Arya lalu mengajak makan bersama, membicarkan hal-hal yang membuat aku, Karen dan Arya tertawa. Saat itu rasanya hari seperti hari normal sebelum 6 bulan yang lalu. 

Sebelum pulang mamah berkata kepada kami untuk selalu menjalin hubungan yang tulus dan erat kepada dokter untuk mendapatkan informasi dan bimbingan. Harus percaya bahwa terapi apa pun nanti akan berhasil.

"Nak kamu harus bersikap positif, sholat dan terus berdoa. Dalam keadaan seperti ini bersentuhan dengan apa saja yang bersifat rohani merupakan hal yang bermakna. Jadikanlah hubungan itu sebagai teman penyembuhan." mamah berkata kepada Arya, lalu memeluknya dan pamit untuk pulang.

Menjelang tidur, Arya masih mencari informasi di internet tentang penyakitnya. Arya menatap layar

"Chronic Myeloid Leukemia ...... yang artinya bahwa itu adalah kanker darah yang kalau terlambat akan fatal, benar begitu bukan?"

"Yah, kurasa begitu sayang." aku menjawab dengan hati-hati.

"Kalau begitu lumayan buruk, dan itu artinya bahwa, " suranya menghilang. "bahwa kesempatanku untuk hidup selama lima tahun ke depan kurang dari empat puluh persen. "

Kehidupan Cinta (Antara Kesetiaan, Cinta dan Kanker)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang