31 Desember 2014

23.5K 1.6K 52
                                    

M a l a m  T a h u n  B a r u



"Lo udah sampai di sana 'kan?" Kini terdengar suara lelaki di ujung sana, tepat saat Hara baru saja menekan tombol hijau dan mendekati ponselnya ke telinganya.

Kini, hening sejenak yang timbul di antara keduanya berganti dengan helaan nafas panjang Hara. "Gue ... takut." Ujarnya ragu-ragu.

Bagaikan bertukar posisi, kini lelaki itu yang menghela nafasnya seperti halnya yang dilakukan oleh Hara sebelumnya. "Hara," Sahutnya pelan namun menenangkan, seperti biasanya. "Lo bisa cancel buat hari ini, lo bisa ambil hasilnya besok. Siapa tau lo dapet berkah malem tahun baru nanti."

Hara memutar kedua bola matanya seraya mendengar ucapan lelaki itu yang ia anggap sangat konyol di telinganya. "Nggak ada yang namanya pergantian takdir, disaat semua keputusan udah terputuskan." Jawabnya mencoba untuk tidak memberi harapan palsu pada dirinya sendiri.

"Terserah lo. Oke, jadi gue tebak ..," Ia menjeda sebelum ia melanjutkan kembali, seolah-olah ia tengah menebak-nebak sesuatu di ujung sana. Walau, Hara sendiri pun tidak dapat menyaksikan gerak-geriknya saat ini juga. "Lo masih senderan di pintu mobil lo, dan masih takut buat masuk ke dalam 'kan?"

Benar, Seratus persen benar. batin Hara pun menyeruakkan jawabannya. Namun, berbeda dengan ucapannya, "Sotoy. Ini gue udah mau jalan masuk ke dalem kok," Jawabnya sebisa mungkin terdengar tenang dan juga santai. Nyatanya, kini ia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, tangannya pun yang sedikit gemetar sedari tadi mulai mengeluarkan keringat dingin. Ya Tuhan, batinnya kembali. "Ya-yaudah, lo sana lanjutin belajar buat ujian mata kuliah lo minggu depan. Nggak capek nelfon gue mulu dari seminggu yang lalu?"

Sekarang, terdengar gelak tawa di ujung sana. Membuat hati Hara sedikit tenang mendengarnya. Setidaknya, tawanya pernah menjadi salah satu penyemangat hari-harinya dulu. "Khawatir itu nggak bisa ada yang tahan. Dan gue tebak lagi, nggak cuma gue yang lakuin ini ke lo. Pasti banyak."

Banyak? batinnya kini bertanya kepada dirinya sendiri. Ia bahkan, tidak tahu apa yang harus ia utarakan kepada orang lain mengenai hal ini. Hanya orang tua, lalu adiknya, lalu Praja. "Udah ya, Ja. Gue kayaknya harus masuk bentar lagi."

Praja kembali menghela nafasnya panjang di ujung sana. Perlakuannya ini, justru membuat Hara kembali menengang dan kembali gugup. "Good luck Hara. Gue masih percaya semuanya akan baik-baik aja nantinya," Ia berhenti. Seperti menimbang-nimbang sesuatu, lalu kembali bersuara. "Gue cuma mau disaat lo nemuin jawaban lo disana, lo harus inget, nggak ada yang namanya air mata jatuh. Gue tau lo udah ngabisin lima box tissue kamar lo, entah untuk apa.

"At least, lo masih punya orang-orang di sekitar lo yang masih ada di sekitar lo, dan bersedia di samping lo. Termasuk gue, anytime Har, gue selalu siap." Ia tertawa ringan sebelum kembali bicara. "Terakhir, happy new year."

Dengan suara yang sudah mulai serak karena menahan air matanya sedari tadi, Hara mencoba untuk tertawa. "Terima kasih atas ucapan lo tadi, Ja. By the way, Happy new year too."

"Bye," Beriringan dengan tawa pelannya.

"Bye." Ujar Hara lalu, segera menyudahi percakapan telfonnya bersama Praja.

Pandangannya kini beralih kepada pintu lobby rumah sakit yang tidak terlihat begitu ramai, namun mampu menampilkan segelintir orang yang berhalu-lalang di sana setiap dua menit sekali, kira-kira.

[1] HugoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang