Thirtheenth

854 66 3
                                    

"Lo yakin nunggu hujan reda?" Dara menaruh telapak tangannya di atas kepala, "Ini deras banget lho,Nya." Ujarnya meyakinkan.

Anya menyandar di tepi dinding pagar sekolah, "Gue lupa bawa jas hujan. Gak mungkin gue terobos, Ra."

Dara mengangguk kecil, "Gak mau bareng gue?"

Anya menggeleng, tangannya saling mengusap satu sama lain. "Enggak deh, Ra. Kasian motor gue kalau gue tinggal sendiri. Nanti dia nangis lagi." Ucapnya lalu terkekeh.

Dara melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah jam 5 sore, namun awan hitam masih menyelimuti kota Jakarta. "Kalau gitu gue balik duluan ya Nya. Gue udah di tunggu nyokap di rumah. Beneran lo gak apa-apa?"

Anya mengangguk sekali lagi, "Makasih ya Ra. Lo udah peduli sama gue."

Dara ikut mengangguk tulus. Gadis itu kemudian mengambil ancang-ancang untuk menerobos hujan menuju mobil silvernya yang berada di ujung parkiran.

Anya melambaikan tangannya begitu melihat Dara yang berbalik setelah membuka pintu kemudi mobilnya. "Hati-hati, pesek!" Serunya kemudian nyengir.

Dara mengepalkan tangannya di udara di iringi dengan gelak tawa. Dara melambai sekali lagi sebelum benar-benar masuk ke dalam mobilnya.

Mobil Dara melesat meninggalkan parkir sekolah beserta Anya dan sepeda motor bebeknya yang terparkir di sisi parkiran. Anya bersandar lagi di dinding, lalu menghela nafasnya.

Dalam dinginnya hujan, ia teringat kembali dengan Almarhumah ibunya. Dulu, jika Anya harus tertahan di sekolah karena hujan, ibunya akan muncul dari balik pagar sekolah membawa payung beserta jas hujan merah muda kecil miliknya di genggamannya.

Dulu, jika ia harus bertahan di dinginnya hujan, ibunya akan datang membawa baju hangat lengkap dengan cokelat hangat dan senyum cerahnya.

Anya meraba wajahnya saat ia merasakan gatal-gatal di bagian pipinya. "Kan bener, alergi lagi." Gerutu Anya. Bibirnya mengerucut sebal sambil mengusap bentol-bentol di pipinya.

Biasanya Anya akan meminum obat alerginya jika hujan datang. Namun, tidak terpikirkan oleh gadis itu bahwa ia akan mendekam sementara di sini.

Saat ia merasakan hampir seluruh tubuhnya gatal-gatal, Anya memutuskan untuk kembali ke kelas sekedar untuk menghangatkan badannya.

Anya duduk di bangku guru, menangkup dagunya dengan kedua tangannya. Ia melirik jam, lalu melirik vas bunga di hadapannya. Begitu seterusnya, hingga ia memutuskan untuk memejamkan matanya sebentar. 'Cuma sebentar' , batinnya.

***

Gerald POV

Aku bersembunyi disini. Di salah satu ruangan yang menghadap langsung dengan gadis itu.

Saat aku keluar dari ruang musik di lantai dua, aku memutuskan untuk pulang ke rumah karena Sheila saat ini sedang merajuk karena waktu itu aku telat menjemputnya di rumah sakit. Benar-benar.

Saat aku berbelok di tangga, tak sengaja aku melihat Dara melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam mobil Silver dan melesat meninggalkan parkiran sekolah.

Aku mencoba melihat seseorang yang tadi menjadi lawan bicara Dara.

'Anya. Ngapain dia masih disini?'. Batinku ikut tersentak. Aku mengerutkan dahiku seraya berjalan menelusuri koridor dengan tatapan terkunci pada gadis itu.

Saat gadis itu menatap ke arahku, aku buru-buru masuk ke ruang penyimpanan bola basket, satu-satunya ruangan yang belum terkunci.

Aku mengawasinya dari jendela ruangan. 'Apa yang gadis itu lakukan?'

Aku melirik jam di pergelangan tanganku, sudah jam setengah 6 sore. Hampir semua kegiatan di sekolah hampir selesai. Sebenarnya apa yang Anya tunggu hingga jam segini?

Aku memutar bola basket di ujung telunjukku masih sambil menatapnya diam-diam. Aku terbahak ketika melihat tampang konyolnya saat pipinya mengembung dan bibirnya mengerucut sambil mengusap pipinya, membuat bola basket di telunjukku meluncur jatuh ke paha kiriku .

Masih dengan cengiran di wajahku, aku mengambil ponsel di saku kiriku. Me-reject panggilan dari Sheila lalu menekan tombol kamera.

Aku mengarahkan kameraku tepat di wajah Anya, Dan... ckrek! Aku mendapatkan satu lagi foto candid-nya. Haha.

Aku menaikkan tatapanku setelah aku puas memandangi beberapa foto candid Anya di ponselku. Wajah konyolnya, caranya tersenyum, menekuk alis, mengerucutkan bibir tipisnya, wajah badmood-nya. Aku suka semuanya. Dan aku benci karena aku menyukainya.

Aku melihatnya berjalan tak lama setelah aku memasukkan ponselku di saku celana. Setelah memperhatikan Anya berbelok di ujung koridor, aku bergegas keluar dari ruangan untuk membuntutinya.

Dia masuk ke dalam kelas sambil menggaruk wajahnya yang sepertinya bentol habis di gigit nyamuk. "Ngapain sih dia?" Gerutuku sambil setengah berlari mengikutinya.

Anya duduk di bangku guru, sementara aku bersembunyi di samping pintu kelas. Aku memperhatikannya lagi. Perlahan, kedua mata Anya terpejam, namun terbuka lagi. Seperti itu beberapa kali hingga Anya benar-benar terpejam dan dengan sigap aku berlari ke arahnya dan menangkup kepalanya dengan satu tanganku.

Aku menaruh kepala mungil itu di atas meja sepelan yang aku bisa. Setelah aku merasa Anya sudah berada dalam posisi ternyamannya, aku mengambil salah satu bangku dan duduk di samping Anya. Aku kembali mengamatinya lamat-lamat. Bagaimana bentuk alisnya yang melengkung sempurna, bagaimana bentuk kelopak matanya hingga membuat bentuk matanya yang bersinar itu sangat indah di pandang, bagaimana hidung kecilnya yang begitu imut, dan bagaimana bibir merah tipis itu bisa membuat senyuman Anya begitu manis.

Aku terkekeh saat menyadari saat ini aku bahkan sedang tersenyum sambil melamun.

Sejenak, aku memandang langit-langit kelas yang di dominasi warna putih dengan beberapa lampu di sisinya. Aku memikirkan kelakuan ku pada Anya yang seringkali berubah akhir-akhir ini, membuatku tersenyum masam.

Di satu sisi, aku tidak ingin meninggalkannya. Bersikap biasa-biasa saja seolah bukan aku yang membunuh ibunya. Menggunakan topeng baikku seumur hidup dan bersama dengan Anya selama yang aku mau. Namun di sisi lain dalam hatiku, aku tidak bisa. Bersama seseorang saat kita menyimpan rahasia besar padanya membuat rasa bersalah menghantuiku. Aku hanya merasa tidak pantas memilikinya setelah merampas kebahagiaan Anya.

Jadi, apa yang harus aku ikuti? Egoku atau rasa bersalahku?

Aku kembali memandangi Anya. Menyelipkan anak rambutnya dengan hati-hati ke belakang telinga, lalu mengusap pipinya yang penuh dengan bentol-bentol kemerahan. Aku terkekeh pelan, 'Nyamuk aja naksir sama kamu, gimana aku bisa enggak?'

sepuluh menit lagi jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Aku harus bergegas sampai kerumah. Mandi, makan dan sholat maghrib. Maka, aku memutuskan untuk meninggalkan jam tanganku di atas meja. Tak lupa, aku membungkus tubuh Anya dengan jaket ku dan mengatur alarm di jam tanganku berharap Anya terbangun sepuluh menit lagi.

Aku menatap wajahnya sekali lagi sebelum menghilang di balik pintu kelas.

***

a.n

Jadi, udah tau kan kenapa Gerald akhir-akhir ini jadi plin-plan? :D

YOUOnde histórias criam vida. Descubra agora