Twentieth

1.2K 68 2
                                    

3 bulan Kemudian...

Anya mematut dirinya di cermin, lalu berputar. Membuat juntaian drees pink softnya melambai. Hari ini-sesuai janjinya yang entah sudah berapa lama terucap, Anya menerima ajakan Dimas untuk dinner.

Tiga bulan sudah berlalu. Selama itu juga, Gerald tidak pernah muncul di kehidupan Anya lagi. Tidak mencoba meminta maaf, maupun mendatanginya.

See, semudah itu cinta datang dan pergi. Pikir Anya.

Gerald kembali menjaga jaraknya dengan Anya. Dan ia, tak lagi mengekori Gerald kemanapun cowok itu pergi. Mencoba tak lagi peduli jika kaum hawa mencari-cari perhatian pada Gerald. Walau sebenarnya ia kesal dan berakhir dengan mengigiti tas atau jaketnya sampai emosi di dalam diri Anya mereda.

Cowok itu terlalu fokus pada pendidikannya, hingga ia tidak bisa memalingkan wajahnya barang sedetikpun dari Buku Detik-Detik Ujian Nasional.

Sementara Anya, ia tampak lebih tegar dari tiga bulan yang lalu semenjak mengetahui tragedi kematian ibunya. Waktu membuatnya mau tidak mau harus menerima takdir. Kembali menata dan memikirkan nasib dirinya sendiri.

Pernah suatu hari, sehari sesudah Gerald membiarkan dirinya basah kuyup di terpa hujan, Gerald berkata; "saat ini gue belum bisa janji kalau gue akan ngehapus semua dosa gue ke elo dan bahagiain lo. Karena gue gak mau cuma ngasi lo cinta semu. Cinta monyet anak SMA yang bahkan untuk nraktir pacar masih harus meminta. Tapi gue janji, suatu saat gue bakal jemput lo, Nya. Jadi tolong, tunggu gue."

"Sampai kapan gue nunggu lo? Dan.. Emang lo mau kemana? Ngapain?" Dahi Anya berkerut samar, sementara bola matanya sibuk mencari kebenaran di mata Gerald.

"Gak bakal lama. Otak gue pinter, badan gue berotot, gue bisa sukses lebih cepat dari yang elo kira." Gerald terkekeh, membuat kedua kelopak matanya membentuk sabit.

Waktu itu, Anya memilih tak memikirkan omongan Gerald karena ia sendiri masih harus menata hatinya untuk cowok yang nyatanya telah tidak sengaja membunuh ibunga.

Setelah lama melamun sambil memegang ponsel,Anya membuang benda itu ke atas ranjang, lalu berdecak. "Semoga kuda gila lupa kalau sekarang punya janji sama gue."

Tepat saat Anya mengambil tas slempangnya di atas nakas, terdengar bunyi klakson mobil tiga kali. Membuat bahu Anya meluruh di lantai bersamaan dengan desahan nafas panjangnya.

Dengan langkah lunglai, ia menuju beranda rumah. Matanya menatap Dimas malas dari teras rumah, lalu melanjutkan langkahnya.

Dimas bersandar di kap mobil. Tangannya di masukkan ke saku celana jeans cokelat tua. Kemeja putih membalut tubuh atletisnya. Begitu Anya berada tepat dua meter di depannya, Dimas tersenyum. "Dress sama wajah lo yang kusam itu gak sinkron. Mending lo pake baju hitam, terus pake kerudung hitam. Ah! Jangan lupa bawa payung hitam!" Seru Dimas, jarinya menelusuri tubuh Anya yang hanya berjarak satu meter dari Dimas.

Sialan.

Anya menghentakkan kakinya menuju mobil Dimas. Tak lupa Anya menutup pintu mobil penumpang dengan sangat keras, sampai tubuh Dimas yang menempel di kap mobil sedikit bergoyang dan cowok itu malah terkekeh.

***

Dimas menjentikkan jarinya begitu pantatnya mendarat di kursi. Dengan otomatis, pelayan mendatangi meja mereka lalu menyodorkan menu.

"Lo mau pesen apa?" Tanya Dimas, dengan masih menatap buku menu yang di pegangnya.

"Apa aja. Gue lagi gak berselera makan." Jawab Anya sekenannya.

Dimas memanggil pelayan untuk mendekat ke arahnya, "Apa menu andalan di sini?"

Pelayan itu tampak mengambil nafas sebelum bicara,"Roast Chicken with Chinnesse Sauce,bla bla bla"

Dimas tidak mendengarkan pelayan itu, ia hanya membolak-balikkan buku menunya. Tepat saat pelayan berwajah datar itu selesai berucap, Dimas dengan santainya berkata, "Saya pesan semua yang anda ucapkan barusan."

Bibir Anya setengah terbuka. Jemari yang semula menggeser layar handphone, kini terhenti. "Siapa yang ngehabisin semuanya?" Desis Anya setelah pelayan itu pergi dengan raut wajah tertekuk.

Dimas terkekeh, "Nanti kalau makanannya udah di meja, lo bisa milih makanan apa aja yang bisa buat mood lo naik."

Anya tambah mendesis, matanya mendelik tajam ke arah Dimas.

'Sebenarnya mau lo apa sih, Mas?'

Dimas berdeham, membuat Anya mengerjap. "Kita harus bersikap layaknya orang pacaran, lo ngerti?" Ucap Dimas setengah berbisik, lalu menggapai tangan bebas Anya di atas meja. "Sabar ya, Sayang. Bentar lagi makanannya datang kok." Dalam sepersekian detik,suara Dimas berubah lembut.

Anya lagi-lagi mengerjap. Apa dia bilang tadi? SAYANG?

Sadar Anya masih kaget dengan ucapannya, Dimas meremas tangan Anya sambil melotot.

"A..aah. I-Iya, Aku mengerti." Anya menjawab sambil melirik wanita yang duduk anggun di sampingnya. Rambutnya menjuntai mengikuti lia-liuk tubuhnya yang di balut dress merah super ketat.

Anya meringis saat melihat Dimas tak berkedip memandang wanita di sampingnya. Lama Anya menilai tatapan Dimas. Dan pada hitungan ke sepuluh,Dimas masih betah menatap wanita berlipstik merah darah itu. Dan Anya yakin wanita itu sangat berarti bagi Dimas. Seolah, wanita yang kini bergelayut manja dengan seorang pria tampan itu adalah pusat dunia Dimas.

Anya berdeham, berniat menyadarkan Dimas bahwa pesanan mereka sudah datang. Anya sempat melihat wanita itu mencuri pandang ke arah Dimas, begitupun cowok yang duduk di depannya.

Saat Anya memotong daging, lagi-lagi Anya terheran dengan perubahan raut wajah Dimas. Apa sebegitu menyakitkannya kah kehilangan orang yang kita sayangi?

Jauh di dalam lubuk hati Anya, Hati kecilnya sudah menjawab pertanyaan itu. Ia pernah kehilangan. Ia pernah terpuruk.

Takdir Anya sepertinya tak jauh beda dengan Dimas.

***

Gerald duduk di pinggir ranjang, menatap dua koper raksasa yang tergeletak di depannya. Besok, adalah hari pengumuman kelulusannya. Dan pada hari itu juga, ia harus meninggalkan Anya.

Kenyataan bahwa Om Drew-Ayah Sheila sedang berjuang melawan sakitnya seorang diri di negeri orang, membuat Gerald menyerah pada prinsip hidupnya. Ia harus pergi ke London, karena pria itu memohon agar Gerald mau mengurus perusahaan Ayah Sheila disana.

Pintu kamar perlahan terbuka sedikit, lalu kepala Sheila menyembul dari balik pintu, "Ayo makan"

Tatapan Gerald tak naik sedikitpun,kedua lengannya berpangku di atas lutut. "Gue gak laper."

Menyerah, akhirnya Sheila sepenuhnya masuk ke kamar Gerald, duduk di sebelah lelaki itu seakan ia duduk di sebelah balok es yang sangat dingin. Sheila mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Gerald sambil bertanya "Apa lo keberatan dengan keputusan Papa?" Sheila mengurungkan niatnya untuk menyentuh bahu Gerald karena cowok itu sedang terlihat tidak bersahabat. tidak mau di ganggu. Titik.

Terdengar helaan nafas berat,"Enggak sama sekali."

Sheila mengangguk sambil tersenyum kecut. "Hmm, besok pesawat berangkat jam 7 pagi. Kita harus ada di bandara satu jam sebelum keberangkatan."

Apa gue harus memberi tahu ini pada Anya?

Gerald berdiri, membuat ranjangnya bergerak pelan. "Keluar, Sha. Gue mau istirahat."

Gerald berjalan ke meja belajarnya, dan duduk di kursi putarnya sambil bersedekap. "Gue bilang keluar, Sha."

Sheila sedikit kecewa, namun ia menuruti Gerald. Ia keluar, menutup pintu kamar Gerald dengan pelan walau sebenarnya ia ingin sekali membanting pintu sialan itu.

Gerald mengambil pulpen di kotak kecil dan menarik kertas di tumpukan bukunya.

mengambil nafas , Gerald lalu mulai menulis.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 31, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

YOUWhere stories live. Discover now