Sebuah Alasan

17K 1K 13
                                    

"Hitam, manis, dan tinggi."
Kali ini gadis yang sering dipanggil Shila itu memandang kelangit-langit yang ada didepan kelas, membayangkan laki-laki yang ada dalam mimpinya.

"Genderuwo?"
Tebakan Dira membuat kami terhenyak, apalagi Shila yang sedang sibuk membayangkan laki-laki yang ada dalam mimpinya.

"Ngaco lo, mana mungkin genderuwo ada yang manis."
Ucapku, yang tidak ingin merusak imajinasi Shila.

"Kali aja, genderuwonya ditambahin gula, kan jadi manis."
Tambah Lea yang membuat Shila mendelik. Dia tahu betul kalau Lea tidak akan membiarkannya senang apalagi dengan imajinasinya.

"Issh Lea, lo mah gak boleh gitu."
Ucapku, yang kemudian mendapat pelukan erat dari Shila.

"Lo emang sahabat gue yang sebenernya Sha."
Shila masih mempererat pelukannya. Aah dia belum tahu saja apa yang akan aku katakan setelah ini.

"Tapi emang manis sih kalo ditambah gula, apalagi kecap. Ya mungkin aja itu genderuwo dilumuri kecap?"
Tambahku yang membuat Shila mendelik dan mencubitku. Kenapa aku yang jadi sasarannya?

"Kalian emang nggak ada yang bener. Otaknya udah pada soak."
Gerutunya.

"Soakan mana sama yang mimpi ketemu orang, tapi nggak pernah ketemu didunia nyata?"
Sahut Lea. Yang membuat wajah Shila cemberut.

"Gue juga nggak tau, kenapa bisa begini? Gue nggak pernah ketemu laki-laki itu didunia nyata, tapi kenapa didalam mimpi itu terlihat jelas wajahnya. Apa memang orang itu ada didunia nyata atau hanya hayalan gue doang."
Gerutunya semakin menjadi-jadi.

Tapi memang benar apa yang dikatakan Shila. Bagaimana mungkin seseorang bermimpi laki-laki yang belum pernah ditemui sebelumnya. Apalagi wajahnya begitu jelas nampak dihadapannya.

"Permisi."
Suara itu mengejutkanku, oh juga tiga sahabatku. Pasalnya suara itu berasal dari belakang kami.

"Bu Aminah tidak masuk hari ini, beliau memberi tugas dan harus dikumpulkan setelah jam pelajaran selesai. Gue minta tolong buat kalian infoin kesemua teman kalian."
Ucap seseorang itu yang ternyata Umar, ketua kelas, kelas sebelah. Dan nyatanya, laki-laki itu memiliki banyak fans, termasuk juga Adirah, aku juga tidak bisa berfikir jernih kalau sudah melihat Dirah mulai tergila-gila dengan laki-laki players macam Umar, pacarnya banyak, suka ganti-ganti, bahkan dia tidak segan-segan bermesraan dimuka umum.

"Iya terimakasih."
Ucapku, sembari mengambil buku paket yang berisi tugas. Dapat aku rasakan sahabat yang ada disampingku termangu merasakan ketakjubannya pada laki-laki yang menjadi idola semua cewek. Adirah hanya bisa diam, meski sebenarnya Umar sudah tahu kalau dia menyukainya. Tapi memang dasar Umarnya saja, laki-laki itu bersikap dingin hanya dengan Adirah, seperti tidak memberi ruang untuk Dirah.

Dan Umar pun berlalu, meninggalkan pandangan kami bertiga kearah Adirah yang terlihat berbinar-binar matanya.

"Dirah cukup. Kalo Jessica tau sikap lo yang berlebihan ini, bisa-bisa lo dilabrak."
Ucap Lea sembari melambai-lambaikan tangannya kedepan wajah Adirah, bermaksud untuk membubarkan pandangannya.

"Lo salah, bukan lagi Jessica, tapi Vebiy."
Sahut Adirah dengan memanyunkan bibirnya.

"Jadi? Umar ganti cewek lagi?"
Tanyaku, baru kemarin dia dikabarkan pacaran sama Jessica, sekarang sama Vebiy? Aah sudah biasa, Umar tidak jauh beda dengan Rayyan. Mereka satu geng, sama-sama suka nongkrong, urakan dan mblegedes. Juga pacarnya banyak. Entahlah apa prinsip hidup mereka.

"Iya."
Adirah menunduk dan melemas. Kenapa gadis itu begitu tergila-gila dengan laki-laki seperti Umar.

"Sudah sudah, kita masuk yuk. Ngerjain tugas ini dulu, baru kita cuss. Iya nggak?"
Ucap Azalea, yang membuat ketiga sahabatnya ini untuk segera mengerjakan semua tugas yang diberi Ibu Aminah.

"Wah goodidea. Kalian duluan deh, nanti gua nyusul."
Ucapku, ketika mereka sudah berdiri untuk masuk kedalam kelas.
Tiba-tiba mataku menangkap laki-laki menyebalkan yang kemarin setuju atas perjodohan itu.

Langkah kaki pun kupercepat, agar bisa menjangkau Rayyan. Dia perlu mendapat balasan dariku kali ini.

"Rayyan."
Panggilku. Dan dia berhenti, tanpa menoleh kearahku.

"Bisa salam nggak?"
Ucapnya datar. Hu, tidak cocok meniru sikap Ayah.

"Nggak! Udahlah Ray gue nggak mau basa-basi. Gue cuman pengen tanya kejelasan kenapa lo ngomong kalo kita nggak saling kenal, bahkan lo setuju dengan perjodohan ini. Apa-apaan ini."
Lega, rasanya lega nyemprot si brotowali itu.

"Gue punya alasannya. Dan lo nggak harus tau."
Jawabnya begitu flat.

Aku menarik nafas jengah. Kenapa semua orang bilang "punya alasan atas keputusannya". Tapi mereka tidak menjelaskan apa alasan itu sendiri.

"Jadi lo hanya nyimpen itu alasan sendiri, yang akhirnya buat lo setuju dengan perjodohan ini. Sedangkan gue? Apa alasan gue untuk setuju?"
Ucapku.

Dan Rayyan pun melihatku, astaghfirullah. Kutundukkan pandnaganku, sejak tadi aku melihatnya dengan penuh amarah, tapi ketika matanya mengarah kemataku, rasanya seluruh yang ada dikelopak ingin jatuh ketanah.

"Kalau memang lo nggak setuju dengan perjodohan ini. Kenapa sejak tadi lo ngomongin itu dengan keras. Apa lo mau semua anak denger hal itu?"
Ucapannya benar. Aku salah, salah. Kulirik sekitarku, mencoba mengecek apa ada orang disekelilingku dan tanpa sepengetahuanku tahu tentang hal itu.
Dasar Alesha, kenapa bisa seceroboh ini. Hanya karena merasa kesal ke laki-laki itu, aku jadi tidak terkontrol.

"Ini semua gara-gara..."
Ucapku, tapi Rayyan yang tadinya ada didepanku sekarang sudah menghilang bersama jejaknya yang mulai menjauh dariku.

"Assalamualaikum, Pare."
Ucapnya. Pare? Tuhkan, dia sangat menyebalkan.

"Waalaikumsalam."
Jawabku. Sudah seharusnya menjawab salam. Tapi aku tetap tidak terima kalau belum tahu alasan dibalik semua ini.

***

"Bunda duluan ya."
Ucap Bunda ketika kami sudah selesai mengerjakan sholat ashar dimusholla depan rumah. Wanita itu seperti tahu apa yang aku inginkan.

"Iya Bun, hati-hati nyebrangnya."
Ucapku. Ku kembalikan sajadah dan mukenah yang sengaja aku taruh dilemari musholla. Kemudian berjalan menuju pelataran, sembari menelusuri shof makmum laki-laki, namun tak kutemui laki-laki bertubuh tegap diantara mereka.

Mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Fikirku.
Aku tahu itu, bahkan Ayah saja sering melaksanakan sholat dikantor, dan aku bersyukur, perusahaan sebesar itu masih disisakan lahan untuk didirikannya sebuah masjid. Setidaknya membuat Ayah selalu ingat atas kewajibannya.

Sampai dipelataran, langkahku menuju tempat sandal, dan segera kembali kerumah.

"Alesha."
Suara itu benar-benar mengejutkanku, pasalnya tadi aku sendirian dipelataran luas ini. Namun tiba-tiba sudah berdiri laki-laki tegap didepanku, yang tadi swdang kucari.

"Kak Ayaz."
Ucapku.

"Selesai sholat?"
Tanyanya singkat namun penuh hangat.

"Iya Kak, Kak Ayaz kenapa nggak ikut jamaah?"
Tanyaku, laki-laki itu pun terdiam. Namun kemudian tersenyum.

"Aku telat, tadi masih ada kerjaan dikantor."
Jawabnya.

"Oh gitu ya?, yaudah kalau gitu silahkan Kak Ayaz sholat."
Ucapku memberinya jalan. Dia tersenyum, astaghfirullah tundukkan pandanganmu Alesha. Sudah berapa kali melihatnya tersenyum.

"Iya, Salam alaikum."
Salamnya. Sembari berjalan menjauh menuju dalam musholla.

Kenapa aku mendnegar ada yang aneh dengan salamnya?

***

Hai Assalamualaikum.
Rasanya seneng banget kita kumpul digrup, dan rasanya aku yang paling tua hiks..

Regards.

Umi Masrifah

Bintang dibalik Senja (COMPLETE)Where stories live. Discover now