08. (Masih) Seperti Biasa

540 38 0
                                    

Pagi ini sama seperti biasanya, aku berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Aku meninggalkan rumah tanpa sepatah kata pun kuucapkan pada kakakku yang masih betah di dalam kamar. Ya, lagi-lagi seperti biasanya.

Aku tiba di sekolah lebih siang dari biasanya dan parahnya sekolah sudah mulai ramai. Aku benci keramaian. Setelah masuk ke gerbang sekolah, langkah kaki kupercepat. Lebih cepat dan makin cepat. Aku ingin segera meninggalkan keramaian ini. Namun, setibanya di kelas, di sana tak kalah ramainya. Baru selangkah aku memasuki kelas, kata-kata teman-temanku sudah memenuhi telingaku.

"Sel, udah ngerjain tugas IPS belum?"

"Aku boleh nyontek punyamu, nggak?"

"Selena pasti udah selesai mengerjakan, kan?"

"Itu, tuh, Selena sudah datang! Jangan ditanyalah, pasti sudah selesai,"

OH MY GOSH.

Tanpa tertarik untuk melirik ke arah mereka, aku langsung mengeluarkan buku tugas yang dimaksud teman-temanku, melemparkannya ke meja salah satu temanku dengan kasar.

"Makasih, Sel!" kata teman-temanku bersahutan.

Hal seperti itu sudah biasa bagiku. Hampir seluruh teman kelasku jarang mengerjakan PR dan selalu menyalin milikku. Tak jarang aku risih dengan kemalasan dan ketergantungan mereka, namun aku tak pernah menolak permintaan mereka secara terang-terangan. Ya, hanya seperti yang kulakukan tadi; tindakanku yang terkesan kasar. Ah, tak pedulilah. Harusnya mereka berterima kasih. Walaupun aku adalah anak bisa dibilang jarang dan malas belajar, namun tugas-tugas seperti ini selalu aku selesaikan tepat waktu atau bahkan sebelum waktu yang ditentukan. Hal ini yang membuat aku selalu menjadi incaran gerombolan pemalas pada pagi hari seperti ini.

Waktu-waktu sebelum bel masuk hari ini aku gunakan untuk nongkrong di perpustakaan. Bukan untuk membaca buku, namun karena aku ingin menikmati kesunyian di sana. Siapa coba yang mau datang ke perpustakaan pagi-pagi begini? Ya, hanya aku seorang di sana.

Namun, ternyata kesendirian itu tak berlangsung lama. Seseorang tiba-tiba datang dan duduk di hadapanku. Tatapannya sok serius menyapu seluruh dinding perpustakaan ini. Kedua tangan terlipat diatas meja menimbulkan kesan sok cool.

"Masih ingat aku?" tangannya terulur.

Pertanyaan bodoh.

"Kenapa diam saja?"

Ih, suka-suka aku, kan. Mau diam, mau cerewet pun itu bukan urusan dia.

"Oh, aku tahu. Pasti kamu lagi nyoba ingat-ingat namaku, kan? Ya, aku tahu, pasti cuma wajahku yang limited edition, ganteng sejagad raya ini yang berhasil kamu ingat, tapi kamu lupa namaku, jadi kamu lebih memilih untuk diam saja. Begitu, kan?"

Oh My Gosh. Sok tahu.

"Ndengerin aku nggak, sih??"

Tak henti-hentinya dia menyerah mengajakku berbicara.

"Sel?"

"Sel?"

"Sel... Selin...?"

Aku menatapnya.

Sejak kapan? Sejak kapan namaku berubah menjadi Selin? Berani-beraninya.

"Nama adikku juga Selena. Tapi, aku lebih suka memanggilnya Selin," cerocosnya.

"Aku memang Selena. Tapi, bukan adikmu!" kataku ketus.

"Aku hanya lebih suka memanggilmu Selin, seperti aku memanggil adikku," bantahnya.

"AKU BUKAN ADIKMU. AKU SELENA BUKAN SELIN. MENGERTI?!" kataku makin ketus.

Kring...! Kring...! Kring...!

Bel masuk berbunyi. Aku meninggalkan Keith dan segera berlari menuju ke kelas.

Maaf?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang