Chapter 3 : Pindahpun, Tetap Sama

7.3K 296 15
                                    



Aku pindah ke Kelapa Gading, Jakarta Utara agar lebih dekat dengan sekolahku. Sementara rumah bekas kuburan Belanda tersebut dijadikan gudang dan untuk tukang tinggali. Rumahku walaupun mengontrak, tetapi sangat dekat dengan sekolahku dan tinggal berjalan kaki. Memang tak seangker rumah lamaku, tetapi rumah baruku ini juga meninggalkan sedikit misteri.

Aku ingat sekali. Waktu itu aku sudah berumur sekitar 10 tahun. Rumahku tidak besar, hanya memanjang. Ruang tamu dibatasi dengan lemari untuk memisahkannya dengan ruang makan. Semua tembok dan lemari, bahkan lantaipun berwarna putih. Hampir menyerupai rumah sakit. Tak jauh dari pintu masuk, terdapat pintu menuju ke kamar dan ya, pintu kamarku terdapat pintu berhadapan lagi yang sebenarnya tidak diperbolehkan dalam ilmu feng-shui. Pintu itu menghubungkan 2 kamar, pintu tengah dan pintu belakang kamar. Akhirnya pintu belakang kamar ditutup dengan lemari.

Rumah kami mempunyai lantai kedua yang hanya digunakan untuk kamar pembantu dan tempat jemuran. Lantai dua ini sangat panas untuk siang hari. Walaupun rumah kami terlihat terang di depan, tetapi ketika menuju dapur sangatlah gelap dengan lantai dapur yang berwarna merah bata. Ketika sampai di dapur, sebelah kanan merupakan gudang terbuka yang hanya dibatasi oleh lemari besar dan berlantai semen.

Dulu aku sering ditinggal ibuku pergi bekerja, sehingga aku hanya berjaga sendirian di dalam rumah. Suatu ketika, aku ditinggal oleh ibuku bekerja. Seperti biasanya aku melakukan aktifitas pulang sekolah, kemudian duduk di ruang tamu. Entah mengapa aku betah berlama-lama duduk disitu tanpa melakukan apapun. Hanya memandang ke luar jendela.

Saat itu merupakan sore yang cukup indah dan menenangkan. Aku memandang keluar jendela. Namun, seketika angin dingin seakan bertiup dari arah ruang makan membuat bulu kuduk berdiri. Aku mengacuhkan keadaan itu tetapi hawa dingin berubah menjadi panas seketika dan membuatku tidak nyaman. Aku takut. Aku takut untuk masuk ke dalam kamar, bahkan aku takut untuk bergerak. Tak berapa lama,aku mendengar sesuatu dari arah belakang.

"TENG!" Aku berusaha mendengarkan lebih jeli.

"TENG!" Bunyi itu muncul untuk kedua kalinya. Aku terhentak.

"TENG! TENG!"

"AAAA..." Itu adalah bunyi dari pianoku. Aku berteriak dan masuk ke kamar. Piano itu berbunyi, padahal dalam kondisi tertutup! Aku panik dan menelepon ibuku untuk segera pulang.

"Tunggu, sebentar lagi mama sampai." jawab ibuku menenangkanku. Detik demi detik berlalu, dan aku masih menunggu. Tetapi ibuku tak kunjung tiba. Aku menenangkan diriku dengan menyalakan televisi di dalam kamar. Aku menonton film kartun kesayanganku. Sampai pukul sembilan malam, akhirnya ibuku sampai dan membuatku yang sedang ketakutan merasa sangat lega.

***

Suatu hari, sepulangnya dari sekolah. Aku mendapati rumahku kosong. Seperti biasa, Ibuku sedang pergi bekerja dan aku sendirian di rumah. Aku berganti baju dan naik ke lantai dua. Walaupun lantai dua terkadang sangat panas dan tidak ada apapun, tetapi aku dapat memanjat barang-barang yang tidak terpakai dan sampai ke atap rumah dimana aku bisa melihat pemandangan. Aku memang sangat suka menyendiri karena mungkin aku bukanlah seorang anak yang mudah untuk bergaul. Aku menikmati sedikit angin senja dan ketika akhirnya merasa bosan, aku kembali turun. 

Tetapi pada saat aku melangkah turun, aku tercengang. Seorang wanita berpakaian putih berdiri membelakangiku. Aku terkejut dan hampir terpeleset. Wujudnya sangat jelas dan rambutnya hitam menutupi punggungnya. Aku turun perlahan dan mengendap-endap menuju tangga dan langsung berlari. Sesampainya di lantai bawah, aku langsung masuk ke dalam kamar. Namun, dengan suasana yang mencekam dan dinding yang tipis, aku dapat mendengar suara ramai anak-anak tertawa di lantai atas.

Indigo's LifeWhere stories live. Discover now