Chapter 57-2

1.3K 115 2
                                    


Moza membuka pintu kamarnya dengan kasar, melempar tasnya ke sembarang tempat dan menghamburkan diri ke atas kasur. Perasaannya campur aduk, bahkan ia menyesal telah memutuskan untuk masuk sekolah kali ini—menyesal telah menemui Bintang, menyesal telah pergi ke kantin dan melihat Jevin tertawa dengan teman-temannya seolah semuanya baik-baik saja.

Moza berteriak sekencang-kencangnya sambil meremas bantal yang ia pegang. "AAAARRRGHHH, JEVIN BABI JEVIN MONYET!" Pekik Moza kesal. Membayangkan Jevin yang bisa tersenyum saat dirinya tidak, membuat Moza tidak henti-hentinya mengumpat saat ini. Bahkan Bang Salim sampai kena getahnya padahal dia tidak tahu apa-apa.

Sambil memejamkan mata, Moza mengingat-ingat lagi kejadian yang sudah terjadi padanya akhir-akhir ini. Hubungannya dan Jevin yang berantakan, kehilangan Oliv dan Bintang. Apalagi? Semua seolah meninggalkan Moza begitu saja. Ya, karena pada akhirnya semua yang datang di hidup kita, cepat atau lambat pasti akan pergi juga.

Suara ketukan pintu membuat Moza membuka mata dan menggerutu. Emosinya memang belum bisa dikatakan stabil, dengan malas Moza membuka pintunya dan mendapati Mbak Yaya yang membawa nampan berisi makanan dan segelas air putih. Dengan tatapan tidak minat, Moza hanya menggeleng dan kembali merebahkan tubuh di kasur.

"Makan dulu, neng! Nanti sakit terus Bang Jevinnya khawatir loh," Ucap Mbak Yaya seraya menaruh nampan di meja kecil dekat kasur.

"Jevin lagi, Jevin lagi," gerutu Moza pelan namun masih bisa didengar oleh Mbak Yaya.

"Pasti lagi berantem? Kenapa sih, neng? Pantesan Bang Jevin udah jarang kesini," Ungkap Mbak Yaya yang tiba-tiba bertransformasi menjadi mbak-mbak tukang gosip. Bahkan sekarang perempuan itu duduk di tepi kasur di sebelah Moza.

Mbak Yaya sudah seperti kakak bagi Moza, selain karena usia yang hanya terpaut sepuluh tahun, sosok perempuan yang ada di rumahnya hanya Mbak Yaya saja setiap harinya.

Seakan mempertimbangkan pertanyaan Mbak Yaya tadi, Moza langsung beringsut mendekati Mbak Yaya dan menaruh kepalanya di paha perempuan itu. Sambil memandang ke langit-langit kamar, Moza terlihat memikirkan ucapan yang hendak meluncur dari mulutnya.

"Mbak, kalau kamu punya pacar dan pacarnya malah "main" di belakang kita, apa yang bakal kamu lakuin?" Tanya Moza sambil mendongak untuk melihat wajah Mbak Yaya.

Sementara yang ditanya tengah memutar bola matanya sambil menyisir rambut Moza dengan jemarinya. Kebiasaan yang tidak pernah hilang dari dulu saat Moza ingin bercerita.

"Ehmm..., aku mah pasti sedih. Tapi yang namanya cinta kadang gak bisa ketebak. Dulu waktu aku SMA aku pernah diselingkuhin tau, tapi aku tetep maafin mantan aku itu karena aku gak siap kehilangan. Padahal dada aku udah perih banget."

Moza hanya menahan senyumnya, tidak tau bahwa jawaban yang keluar dari mulut Mbak Yaya terdengar lucu, maksudnya Mbak Yaya malah keterusan dan menceritakan masa lalunya.

"Sampai aku mikir, alasan aku kenapa gak mau lepasin dia, itu karena aku masih sayang atau aku terlalu takut menghadapi semuanya kalau gak ada dia, aku bingung," tambahnya.

"Sama mbak, samaaaa. Aku juga kayak gitu sekarang. Aku sama Jevin belum pernah bilang putus meskipun kalau diliat, aku dan Jevin kayak gak punya hubungan apa-apa lagi," tanggap Moza sambil memainkan kakinya.

"Maksudnya..., Bang Jevin selingkuhin kamu?" suara Mbak Yaya terdengar panik. Ia tidak percaya, jelas-jelas ia bisa melihat Jevin yang tulus menyayangi Moza dan Jevin sering bilang pada Mbak Yaya bahwa Moza adalah calon mama dari anak-anaknya kelak. Meskipun hal itu masih jauh untuk sampai terjadi nantinya.

Moza hanya mengangguk dengan wajah yang cemberut. "Ah tau ah aku gak ngerti jalan pikiran dia. Mbak, pijitin kepala aku ya, aku pusing, mau tidur aja."

BOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang