3. Pian Selalu Gila

160K 12.4K 1.9K
                                    

Pika berjalan memasuki gerbang sekolah. Angin di pagi hari ini bertiup agak kencang, namun panas matahari di Kota Pekanbaru tetap memancarkan sengatannya. Rambut hitam legam Pika yang panjang sebatas pinggang, tergerai indah ditiup oleh angin.

Pagi-pagi sekali, si Pian sudah datang ke sekolah hanya demi menyaksikan kehadiran Pika. Padahal, selama dua tahun menginjakan kaki di sekolah ini. Boro-boro mau bangun pagi, datang ke sekolah aja selalu terlambat setiap hari. Cowok itu, dengan pakaian yang tidak pernah rapi seperti biasa telah berdiri di depan gerbang. Sebelah kakinya berada di tanah, sedangkan sebelah lagi memanjat pagar.

"Dia yang memikat hati, entah bagaimana caranya aku bisa tergoda. Ku curi-curi waktuku tuk mengusik hatinya. Banyak cara kucoba demi untuk mendapatkan hatinya. Ku ingin tahu siapa, karya Kahlil Gibran."

Begitu syair sang maestro yang kembali ia ucapkan. Pian lompat dari pagar dan berjalan cepat menghampiri Pika.

Mensejajarkan langkahnya dengan Pika.

"Pagi Agen Pika," sapanya dengan wajah sok kalem dan tersenyum menyebalkan.

"Pagi," balas Pika enggan menatap balik. Ia menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga.

"Siang Agen Pika," sapa Pian lagi.

Kali ini Pika tidak menjawab dan tetap berjalan lurus.

"Sore Agen Pika."

Pika menoleh, meskipun terpaksa. "Masih pagi," katanya ketus.

Tapi Pian tetap mengulas senyuman menyebalkan. "Malam Agen Pika."

Pika berhenti berjalan. Badannya benar-benar berbalik menghadap Pian. Ia ingin melontarkan perkataan amarah. Namun Pian sudah cepat tanggap menimpali. "Aku nggak perlu capek-capek datang ke rumah kamu lagi kan setiap waktu. Karena aku yakin bakalan diusir. Dan semua sapaanku tadi itu sudah mewakili semuanya. Disimpan aja untuk siang, sore dan malam."

Pika memejamkan matanya tiga detik sambil menghela napas. Cewek itu enggan menanggapi dan kembali berjalan. Tetapi Pian tidak menyerah, ia tetap berjalan di samping Pika.

"Cuaca hari ini panas ya." Pian kembali bersuara.

Pika diam.

"Aku lebih suka cuaca panas. Karena ...." Jeda sejenak, seolah ia ingin mempermaikan kesabaran Pika. "Kalau dingin...." Suaranya dibuat-buat slow motion. "Aku takut bakalan khilaf meluk kamu."

Refleks Pika melototi Pian. Sebelum cewek itu benar-benar menimpuknya dengan batu besar, Pian sudah kabur duluan.

"Aku lebih suka cuaca panas. Karena kalau dingin, aku takut bakalan khilaf meluk kamu."

Ketika Pika sudah mendaratkan bokongnya di kursi kelas. Ucapan Pian kembali terlontar begitu saja di kepalanya. Memenuhi otaknya hingga nyaris ketularan korslet.

"Hoi, Pik. Kenapa mukamu kok kayak orang habis lihat setan?" Tika datang mengagetkan sambil duduk tepat di sebelahnya.

Begitu pula dengan Nilam dan Widya yang ikut bergabung.

"Masih pagi lho, tapi mukanya udah cemberut aja. Kenapa?" tanya Widya kali ini duduk di sudut meja Pika.

"Ah, aku tau!" Nilam menjentikan jari. "Pasti habis kesal sama Pian yaaa?"

"Dari mana kau tau, Lam?" Tika menatap Nilam.

"Yataulah. Jelas-jelas, sebelum gerbang sekolahan di buka. Si Pian udah teriak-teriak manggil Pak Dadang buat bukain gerbangnya."

"Ha?" mulut Widya terbuka lebar, tak percaya. "Pian datang pagi-pagi buta ke sekolah? Ngapain?"

"Meneketehek." Nilam mengangkat kedua bahu. "Tapi waktu ditanya sih, dia malah jawab bercanda."

I Love You Pian!Where stories live. Discover now