Mendung [1]

12.3K 804 35
                                    

[Mendung]

Seharusnya setelah bengkel mobil itu dan berbelok ke kiri, lalu berbelok ke kanan di pertigaan pertama, aku sudah dapat menemukan rumah Badai. Nyatanya aku malah tersesat di dalam komplek pemukiman elit ini. Rintik memang bodoh! Bertindak nekat menyambangi rumah Badai padahal tahu jalan pun tidak! Aku memang tak begitu memperhatikan jalan ketika pertama kali diajak ke rumah Badai. Saat itu aku terlalu sibuk dengan pikiran sendiri–dengan Badai.

Ponselku terus bergetar di atas dashboard, Awan belum menyerah meneleponiku setelah kubawa kabur mobilnya. Usahaku untuk mengingat jalan menuju rumah Badai pun terganggu karenanya. SIAL! Seandainya aku tak harus menabung demi ponsel pintar idaman, sudah kulempar benda berisik itu ke luar mobil!

Ah, aku ingat rumah itu. Perhatianku sempat tercuri olehnya dulu. Kulajukan mobil pelan-pelan sambil mengagumi exterior sederhana bangunan di samping kanan. Pagarnya bercat putih dan jarang-jarang. Seolah memang sengaja memamerkan apa yang ada di dalam perlindungannya. Ada taman kecil di balik pagar, tak banyak tanaman di sana, hanya beberapa pohon sedang dan rumput hijau terpangkas rapi. Dindingnya bercat biru muda. Jendela-jendela menjorok ke luar dan memiliki kusen kayu putih dengan pahatan melingkar di pinggirnya. Ia sangat cantik. Mengingatkanku akan rumah boneka yang dulu pernah diberikan nenek–sekarang sih sudah entah ke mana mainan itu.

Ketika mataku kembali ke depan. Aku langsung merasa menyesal dan reflek merem. Berharap apa yang akan terjadi, tak terjadi.

BRAK!

Terlambat.

Kurasakan hantaman yang lumayan kencang ketika akhirnya menabrak. Padahal sudah kuinjak rem dalam-dalam, tetap saja terlambat.

Awan pasti membunuhku karena melukai si merah.

Seorang pria berlari dari dalam warung keluar. Matanya langsung melotot begitu melihat nasib mobilnya. Wajahnya yang mulai merah padam langsung menoleh ke arahku. Mengamati aku yang berada dalam lindungan kaca mobil gelap. Tak lama ia menghampiri. Mengetuk jendela tepat di sampingku. Mau tak mau, aku jadi menurunkan kacanya. Jantungku berdebar kencang. Menanti makian.  

“Kamu punya mata? Enggak bisa lihat mobil di depan kamu itu lagi parkir?”

“Punya dan bisa, tapi Om kenapa parkir depan mobil saya?” balasku. ASTAGA, DIAM RINTIK, DIAM!

Pria itu melotot, walau wajahnya sama sekali tidak terlihat galak. “Kamu yang salah, kok kamu yang emosi?” tanyanya dengan nada suara tinggi.

Aku memang salah. Mobil Awan yang kukendarai dengan jelas terlihat menyerong ke kiri dan menyundul bemper belakang mobil sedan itu. Mau dilihat dari sisi mana pun, aku memang salah. Tapi aku juga harus cari cara agar bisa terbebas dari masalah ini. Dengan jalan kekeluargaan tentu saja.

“Ya udah, saya minta maaf. Saya ganti deh.” Buru-buru kuraih dompet dari dashboard, sebelum aku ingat, aku tak punya uang. Aku belum mengambil uang dari ATM. Mampuslah.

“Enggak! Enggak perlu! Kamu ikut saya aja ke kantor polisi. Kamu pasti pakai narkoba, kayak yang diberita-berita itu. Jalanan lengang kok bisa nabrak.” Dibukanya pintu mobil dengan paksa.

“EH, jangan dong Om!” teriakku panik. Bisa mati aku kalau tiba-tiba menelepon ke rumah dan bilang aku ada di kantor polisi. Apalagi tuduhan Om satu ini benar-benar mengerikan. Narkoba? Aku bahkan tak pernah lihat benda-benda itu–kecuali dari televisi atau gambar-gambar di brosur penyuluhan.

Om itu sepertinya sudah sinting, penggelangan tanganku langsung ditariknya. Aku digiring mendekati mobilnya. Walau meronta dan berusaha melepaskan diri, genggaman Om ini erat sekali. “Om, lepasin saya, beneran Om, saya enggak sengaja.”

“Udah, kamu jelasin aja di kantor polisi nanti!”

Apa yang terjadi padaku ini menarik perhatian warga. Pemilik warung sampai keluar dari rumahnya. Dan sekarang sampai ada mobil berwarna hitam yang tiba-tiba minggir dan berhenti.

“Rintik?” teriak suara seorang wanita memanggil namaku. Ketika kumencari asal suara itu, yang kutemukan adalah Namira di kursi penumpang mobil tadi. Aku langsung bersyukur. Namira pasti menolongku.

“Pak Sugeng, Rintik, ini ada apa ya?” tanya Namira begitu ia keluar dari sedan mewahnya dan menghampiri kami.

“Bu Mira kenal anak ini?” tanya Om gila itu.                  

“Kenal, dia ‘itu’-nya Badai.” Entah mengapa Namira terdengar ragu-ragu. Dan apa maksud penekanan nada dalam kata ‘itu’ yang ia ucapkan?

 “Ini istrinya Mas Badai?” Om yang dipanggil dengan nama Sugeng ini langsung melepaskan tanganku.

“Eh? Mmm … iya,” jawab Namira pelan. Sekilas ia melirik ke arahku. Ekspresi wajahnya aneh.

“Hoalah, pantesan, baru pulang dari Amrik sih ya, jadi masih kagok gitu nyetir di Indonesia,” Pak Sugeng langsung berlagak baik dan menepuk-nepuk bahu kananku.

Sebentar! Seperti ada yang salah dengan pendengaranku!

Apa? Istrinya mas Badai? Istri? Badai? Istri Badai? Badai punya istri? BADAI PUNYA ISTRI? Rasanya dunia ini berputar kencang sekali. Kepalaku langsung kliyengan karenanya. Tubuhku ini rasanya seperti layangan putus.

“Pak Sugeng, biar nanti saya yang ganti kerusakannya, ya?”

“Oh, endak perlu Bu Mira, biarin aja.”

“Beneran lho, saya enggak enak jadinya.”

“Ah, Bu Mira ini, kayak sama siapa aja, kan kita tetangga toh.”

Entah basa-basi apa lagi yang sedang terjadi antara Namira dan si Om gila itu. Telingaku berdengung kencang.

***

“Kamu ke rumah dulu, Rin?” tanya Namira pelan. Aku menggeleng. “Badai ….”

“Udah, aku mau pulang aja, aku duluan ya, salam aja buat Badai sama Petir.” Tanpa menunggu jawaban, aku langsung kembali ke mobil dan melajukannya. Meninggalkan Namira yang masih berdiri di samping sedannya.

***

Kumatikan mesin mobil. Awan langsung menghampiriku dengan wajah sangarnya. Aku terdiam di dalam. Tak ingin menghadapinya. Entah mengapa mataku panas dan pandanganku mulai berkaca-kaca. Awan membuka pintu dan langsung menyemburkan omelan-omelan karena aku telah membawa kabur mobilnya. Ia belum melihat apa yang terjadi pada bemper depan si merah. Kalau sudah, ia pasti mengamuk dan bukan hanya mengomeliku.

“Enggak usah belagak mau nangis gitu! Lebay!” ketus Awan di sampingku sesaat setelah ia membuka pintu dan menarik kunci mobil dari tempatnya.  

“Enggak.” Suaraku bergetar bersamaan dengan setetes airmata yang tumpah.

“Lu kenapa lebay banget gitu, ngapain nangis? Udah bawa kabur mobil orang, diomelin nangis pula.”

“Bukan, bukan karena diomelin.” Niatnya membantah dengan ketus, tapi suara yang keluar malah lebih mirip isakan. Dan aku tak lagi mampu menahan tangis yang pecah.

Kutarik tubuh Awan mendekat. Kupeluk dirinya erat. Kubiarkan tangisku pecah di dadanya. Awan membalas dekapanku. Tangannya melingkari tubuhku; yang satu mengusap punggung berusaha menenangkan, yang satu membelai kepala.

“Gua kan udah bilang, dia enggak sebaik yang lu pikir,” ucap Awan lembut. Tanpa harus aku bercerita, ia sudah bisa menebak alasan aku seperti ini. Awan memang egois, namun dalam waktu-waktu tertentu, ia bisa menjadi sahabat terbaik.

“Di—di—dia udah punya istri …,” bisikku di sela-sela isak tangis. Dadaku sakit ketika harus mengatakan kenyataan itu pada Awan. Aku tak tahu mengapa ini kurasakan. Mengapa aku kecewa? Mengapa aku merasa terkhianati? Aku dan Badai, kami hanya pasangan palsu.

Namun mengapa ini menyakitkan?                      

***

RintikWhere stories live. Discover now