Gerimis [1]

12.3K 856 133
                                    


Aku menceritakan semuanya pada Mama dan Pelangi. Dari mulai perasaan yang tiba-tiba saja timbul untuk Awan, sampai keputusan untuk menjadi pacar Badai. Semuanya kuungkap dengan isakan yang tak kunjung berhenti. Aku kalut. Tak tahu bagaimana harus bersikap setelah melihat perkelahian Awan dan Badai. Mereka berdua sekarang pasti terluka karena aku. Karena aku yang plin-plan. Karena aku yang tak tahu harus memilih siapa.

Mama mendengarkan dengan saksama. Sesekali dirinya mengangguk. Mama tak menyalahkan perbuatanku. Menurutnya masalah ini hanya proses pendewasaan diri yang harus kulewati. Dan pasti bisa kulewati. Sayangnya aku tak memiliki keyakinan yang sama dengan dirinya.

"Apapun pilihan kakak, mama sama papa pasti dukung. Mama yakin, kakak bisa bersikap bijak. Sekarang kakak tidur aja ya." Mama membelai kepalaku sebelum bangkit dan meninggalkan kamar. Pelangi masih duduk di atas kursi belajar sambil memutarnya ke kanan dan kiri. Ia berhenti begitu menyadari kalau aku sedang mengamatinya.

"Kak, menurut Angi, di antara dua pilihan itu, selalu ada pilihan ketiga yang enggak kelihatan. Kakak jangan terlalu fokus sama dua pilihan itu aja," katanya sebelum beranjak mengikuti Mama.

Pilihan ketiga? Maksudnya apa? Dua pilihan saja sudah membuatku stress hampir gila. Apalagi kalau ditambah satu pilihan lagi. Bakal jadi gila total aku pasti. Kuabaikan saran Pelangi.

Kurebahkan kepala ke atas bantal. Air mata masih mengalir jatuh. Dengan sesegukan yang belum reda, aku mencoba tidur. Tapi tak bisa. Mata ini tak mau memejam juga. Rasanya kepalaku panas. Pikiranku terus saja mengelana. Bagaimana caranya seseorang bisa tidur dengan keadaan seperti ini?

~*~*~*~

Pernahkah kamu tertidur tapi tidak merasa tidur sama sekali? Seperti otakmu terus bekerja selama kamu terlelap? Itulah yang kurasakan ketika bangun karena ponsel berdering kencang di samping telinga. Aku bahkan tak ingat kapan meletakkan benda itu di sana sebelum ketiduran.

"Halo?" jawabku dengan suara parau. Tak lagi kulihat nama penelepon yang tertera di layar ponsel karena mata yang terlalu berat untuk dibuka.

"Rintik," balas suara cowok terdengar berbisik.

"Ya?"

"Kamu bisa keluar sebentar?"

"Hhmmm ... jam berapa sekarang?"

"Jam setengah satu," jawabnya.

"Hhmmm ...," gumamku lagi. Masih di ambang kantuk dan berpikir untuk menurutinya atau balik tidur lagi.

"Kamu capek banget ya? Maaf ya. Aku cuma ngerasa harus ketemu kamu malem ini."

"Ya udah." Dengan mata berat yang masih setengah tertutup, aku menyibak selimut dan beranjak dari kasur, berjalan ke pintu. Alhasil, rak buku dicium lututku. "ADUH!" jeritku kaget ketika rasa sakitnya menjalar. Otomatis mataku terbuka lebar dan kantuk hilang begitu saja.

"Kamu kenapa?" tanya pemuda di ujung sambungan telepon. Baru saat itu aku sadar, kalau ternyata pemuda itu adalah Badai.

"Nabrak rak buku," jawabku sekenanya. "sebentar ya," lanjutku ketika mendengar kekehan Badai.

"Ati-ati jalannya, nyalain dulu lampunya."

"Iya, sebentar ya." Aku tetap tak menyalakan lampu. Sambil merasakan nyeri di lutut, kubuka pintu perlahan, tak ingin menimbulkan suara yang dapat membangunkan orang rumah. Walau kalau pun ada yang bangun, aku bisa saja beralasan ingin mengambil minum di dapur.

Pelan-pelan kuturuni tangga, melewati ruang keluarga, dan mengarah pintu masuk. Dari jendela di samping pintu, aku mengintip sebentar. Badai tak ada di depan pagar, namun memang ada mobil berjenis SUV yang parkir di depan pagar rumah tetangga seberang. Aku yakin itu bukan mobil baru tetanggaku. Tak mungkin mobil barunya diparkir di luar sementara mobil lama parkir di dalam kan?

Kuputar kunci, pelan, berusaha tak menimbulkan suara. Setelah terdengar bunyi –keletak, kuputar gagangnya dan perlahan membuka pintunya selebar badanku saja. Setelah bisa keluar, aku buru-buru menghampiri pagar. Badai keluar dari mobil dan menghampiriku.

"Kamu ngapain di sini?" tanyaku menyembunyikan ringisan kecil ketika menyadari wajahnya yang lebam dan luka karena perkelahian tadi.

"Aku butuh ketemu kamu," jawabnya berbisik. "Aku yang masuk atau kamu yang keluar?" tanyanya.

"Kamu bisa manjat?" tanyaku ketika melihat gembok terkunci, aku bahkan tak tahu di mana Papa meletakkan kuncinya malam ini. Walau kadang kunci itu biasa tergeletak di dalam wadah kuningan di meja sudut ruang tamu.

Tanpa menjawab, Badai mulai memanjat. Dia cekatan sekali. Seperti seorang penggiat park our, tak butuh waktu lama untuknya pindah dari luar ke sisi dalam pagar. Ia langsung memelukku erat.

"Maafin aku," bisiknya. Ada getar yang terdengar dalam suaranya.

~*~*~*~

Ini pertama kalinya dalam hidupku ada cowok—selain Awan yang masuk ke dalam kamar. Teman cowokku memang hanya Awan yang sering sekali datang ke rumah. Dengan Awan aku tak perlu merasa canggung karena kamar berantakan. Tapi kali ini beda. Badai tak seharusnya melihat bra menggantung di gagang pintu lemari atau tumpukan baju kotor di sudut kamar.

Ketika menyalakan lampu kamar, dengan secepat kilat aku mengambil bra dan tumpukan baju itu lalu memasukannya ke dalam keranjang di kamar mandi. Badai yang masih berdiri di dekat pintu tersenyum melihat ulahku. Aku hanya mengangkat kedua bahu.

"Kamu mau minum?" tanyaku mengalihkan perhatiannya. Dia menggeleng pelan, berjalan ke kursi belajar, lalu duduk di sana. Tangan kanannya menjulur ke arahku. Ekspresinya datar namun tatapan lembutnya menatapku lekat. Kuhampiri dirinya, kusambut uluran tangannya. Hangat.

Dia langsung menarik tanganku, melingkarkan kedua lengannya ke pinggang dan merapatkan kepalanya pada perutku. Untungnya aku sedang tidak merasa lapar, kalau saja tiba-tiba perutku berbunyi, bisa malu aku nanti. Entah mengapa ada keinginan kuat untuk membelai kepalanya. Maka itu yang kulakukan. Kusisipkan jemariku pada rambutnya.

"Berbalik, Rin!" ujarnya tiba-tiba tanpa merubah posisi.

"Berbalik?" balasku tak mengerti.

"Percuma kalo kamu terus kejar punggungnya, berbaliklah!" Badai semakin mempererat dekapannya di pinggangku dan kepalanya seolah hendak dia tenggelamkan ke perutku.

"Enggak semudah itu, Dai ...," balasku pelan. Aku paham maksudnya. Aku mengerti permintaannya ini.

"Kamu takut apa? Berbaliklah! Aku di sini untuk kamu. Kamu enggak perlu bersusah payah berusaha bikin aku melihatmu. Berbaliklah!" Lagi-lagi kudengar ada getar di suaranya.

Haruskah kuberbalik? Apa itu yang terbaik untukku? Apa dengan benar-benar berbalik ke Badai, aku akan mampu melupakan Awan? Kalau memang bisa, mungkin sebaiknya aku berbalik. Toh, percuma juga kalau aku terus menahan rasa ini untuk Awan.

Tapi, tak semudah itu kan?

Membuang perasaan, menyerahkan cinta, melupakan seseorang, tak semudah membalikkan telapak tangan atau berbalik badan. Seandainya saja semudah itu.

Kurasakan Badai mengembuskan napas panjang lalu perutku terasa hangat. Basah. Ada sesuatu yang membasahi kaus tidurku. Apa Badai tertidur dan ngiler?

"Dai?" Kutunggu sesaat, tak ada jawaban, lagi-lagi hanya kehangatan yang kurasakan di perut. "Badai?"

"hhhmmm." Suara gumamannya terdengar aneh. Bindeng?

Kusapukan jemari ke pipinya. Basah. Sampai ke dagu. Basah juga. Kuangkat kepalanya agar mengarah lurus padaku. Air mata itu jatuh dari mata kirinya. Menetes ke pipi lalu mengalir ke telinga.

"Badai, kamu  kenapa?" Panik kurasakan. Ini pertama kalinya aku melihat seorang cowok menangis. Aku bahkan tak menyangka akan melihatnya menangis. Pasti luka lebam di wajahnya terasa sakit dan dia tak bisa menahannya. Badai menggeleng sebelum kembali membenamkan wajahnya ke perutku. Sesekali isaknya terdengar. Aku hanya berdiri geming, tak tahu harus berbuat atau berkata apa. 

__________________________

RintikWhere stories live. Discover now