Geledek

13.2K 879 90
                                    

"Makasih, ya," ujarku pelan ketika Awan memberhentikan mobil di depan pagar rumahku. Awan tak menjawab. Dia pasti membalasku karena mendiaminya sepanjang perjalanan Puncak-Jakarta.

Tanpa basa-basi, Awan langsung melajukan mobilnya kencang. Meninggalkan aku sebelum aku sempat masuk ke dalam rumah. "Dasar tukang ngambek!" gerutuku sambil membuka gerbang.

Bi Njah menyambutku semringah—dia memang tak suka berada di rumah sendirian—, katanya Mama, Papa dan Pelangi pergi sedari tadi sore. Bi Njah juga menawarkan aku makan malam, ayam goreng dan tumis kangkung jadi menu hari ini. Aku menolaknya lembut namun tetap minta dibuatkan susu cokelat hangat. Perutku sama sekali tak merasa lapar. Yang kuinginkan sekarang hanya mandi dan tidur.

Memasuki kamar, yang pertama kali kusambangi adalah meja nakas di samping kasur. Tempat aku meninggalkan ponsel dengan keadaan mati dan baterai tercabut beberapa hari lalu. Entah mengapa, instingku memerintahkan tubuh ini untuk menyalakannya. Harus dinyalakan. Seperti ada dorongan kuat yang memburu-buruku.

Setelah proses loading-nya selesai, ada banyak sms pemberitahuan dari operator tentang pesan suara dari nomor yang tak kukenal. Biasanya aku mengabaikan pesan-pesan suara semacam ini. Malas karena pasti menyedot pulsa. Kali ini, aku malah mendengarkannya.

Anda memiliki 17 pesan suara. Untuk mendengarkan, tekan 1 ... tanpa menunggu wanita itu meneruskan cerocosnya, langsung kutekan angka satu.

"Rintik ...," Jantungku melorot ke perut seketika kudengar suara Badai. "aku tau kamu marah, aku tau apa yang mungkin kamu rasain setelah kamu dengar informasi itu. Aku mau ngejelasin. Please, kasih aku kesempatan untuk ngejelasin." Sesaat aku terpaku. Tak tahu apa yang harus kupikirkan.

"Sebenci itu ya kamu sama aku? Kalo aku ada di Jakarta sekarang, pasti bakal lebih gampang aku nemuin kamu untuk ngejelasin semuanya." Entah mengapa, suara Badai terdengar tak bersemangat di pesan keduanya.

"Please, angkat telponnya." Kali ini suaranya setengah berbisik.

"Rintik ... aku pulang ke Indonesia besok. Aku mau ketemu kamu. Aku mau ngejelasin semuanya." Pulang ke Indonesia? Memangnya kamu ada di mana Dai?

"Kamu ke mana? Aku telpon ke rumah katanya kamu ke luar kota. Kamu ke mana? Sama siapa?"

"Rin, aku udah di Bandara. Aku langsung ke rumahmu nanti. Please, temuin aku ya." Aku ingin, aku ingin bertemu dengan kamu Dai. Aku enggak tahu apa aku sanggup. Tapi aku sangat ingin bertemu kamu.

"Rin ... aku baru mendarat, aku on the way ke rumah kamu ...." Ke rumah? Kapan? Astaga.

Belum selesai pesan itu kucerna, ponselku malah berdering. Nomor Badai tertera di layarnya. Tanpa pikir panjang, aku menerima telpon itu.

"y—ya?"

"Rintik?" Jantung ini terasa mau meledak saat mendengar namaku disebut langsung olehnya. "Aku di depan rumahmu." Mendengar kalimat itu sontak membuatku berjalan menghampiri jendela. Dan Badai benar. Ia memang saat ini berdiri di depan pagar rumahku dengan kepala tertunduk dan satu tangan menggenggam ponsel di telinganya.

"Aku tau, kamu mungkin enggak mau nemuin aku. Tapi please, kasih aku kesempatan kali ini aja, untuk ngejelasin semuanya ke kamu." Badai berjalan mondar-mandir sambil sesekali kulihat ia menendang kerikil.

"Please. Boleh kan aku ketemu kamu?" lanjutnya pelan. "Sebentar aja."

Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tak tahu apakah hatiku sanggup mendengar penjelasan Badai secara langsung maupun melalui telpon. Aku tak ingin ia menghilang. Pergi dariku kalau memang nyatanya ia seorang lelaki beristri. Aku ingin Badai terus di sini, bersamaku, walau perasaanku pada Awan belum hilang. Jangankan menghilang, aku malah semakin dalam terjebak dalam cinta itu.

RintikWhere stories live. Discover now