Evaporasi [2]

15.8K 912 86
                                    

Berjalan memasuki lingkungan kampus dengan mulut menguap lebar bukanlah ide yang bagus. Beberapa junior menatap nanar ke arahku seolah aku ini alien dari planet saturnus. Aku hanya tidur satu jam saja tadi. Dan sekarang mataku benar-benar perih terkena pancaran matahari. 

"Cewek tuh kalo nguap ditutup mulutnya," seru Awan dari belakang sambil menepuk punggungku, "nggak ada manis-manisnya banget lo, Rin!"

"Bodo!" jawabku sebelum berbalik dan menemukan Awan merangkul seorang cewek yang sangat tidak asing.

"Lo udah kenal kan sama Melanie?"

"Udah," jawabku yang langsung disambut oleh senyum Melanie.

Jadi korban baru Awan adalah Melanie. Siapa yang bodoh kali ini? Melanie yang jadi korban Awan atau malah sebaliknya? Reputasi Melanie pun bisa dikatakan hampir sama dengan Awan. Seorang playgirl cap ikan hiu. Dari gosip yang beredar sih, Melanie tipe cewek yang habis manis sepah dibuang. Tapi aku yakin, untuk Melanie, Awan pasti tangkapan yang menguntungkan.

"Lo nggak masuk kelas, Rin?"

"Nggak kayaknya deh, gue mau ke perpus aja. Ngantuk!" Sebenarnya aku masih bisa menahan kantuk ini, tapi melihat gelagat Melanie yang seperti ingin ikut masuk ke kelasku juga, membuatku malas. Pagi-pagi sudah disuguhi dengan kemesraan palsu a la mereka sungguh memuakkan.

"Ya udah, gue duluan ya." Awan berjalan meninggalkanku, sedangkan Melanie melambaikan tangannya kepadaku. Cih! Sok kenal!

Kupijakan kaki satu per satu menaiki tangga. Lemas. Kurasakan ponselku bergetar dari dalam saku celana. Kuambil dan lihat ada nama Badai tertera di layarnya.

"Halo?" jawabku tak bersemangat seraya melewati beberapa kelas yang sudah mulai belajar.

"Selamat pagi, Rintik," sapa Badai dengan suara lembutnya dari ujung sana.

Memasuki perpustakaan yang lumayan sepi, aku berjalan pelan. "Ya, pagi," jawabku.

"Kok nggak semangat gitu suaranya? Sakit?"

"Ngantuk."

"Pasti mikirin gue ya, sampe nggak bisa tidur?" ledeknya.

"Bukan karena lo-nya. Tapi karena omongan lo!" Kudengar Badai tertawa di ujung sana. Sialan. Apa dia hanya mengerjaiku saja? Aku memilih kursi paling pojok di Perpustakaan. Sedikit gelap, bagus untuk mataku yang memang butuh tidur sebentar saja.

"Nanti pulang jam berapa, Rin?" tanya Badai.

"Jam 12 atau 1 mungkin. Emang kenapa?"

"Gue jemput ya?"

"Hhmmm...."

"Gue cuma mau ketemu lo kok, langsung gue anterin pulang deh."

"Nggak yakin."           

"Janji."           

"Ya udah. Terserah aja."

"Ya udah, sampai ketemu nanti, Rintik."

Kupikir, ada untungnya juga dijemput Badai. Aku tak perlu panas-panasan naik bis kota. Tadinya aku berniat meminta Awan mengantarku pulang nanti, tapi kehadiran Melanie pasti akan mengganggu.

Teringat akan Awan dan Melanie membuat hatiku berdenyut perih. Seperti ada yang mencubitnya dengan sadis. Kejam! Secepat itu Awan punya pacar lagi? Sial! Kurasa, aku memang benar-benar tak akan menjadi pacarnya. Bahkan untuk bermimpi dan berkhayal saja adalah hal yang terlalu muluk!

Niat awal memejamkan mata hanya beberapa menit ternyata menjadi beberapa jam. Jam 12 siang, ponselku kembali bergetar dan berhasil membangunkan aku. Sedikit merasa disorientasi dengan keadaan sekitar. Aku tak percaya kalau sedari tadi aku benar-benar tidur di perpustakaan.

"Halo?"

"Lo udah keluar kelas?" tanya Badai.

"Eh ... ummm ... udah!" jawabku bohong. Tak satupun kelas kumasuki hari ini. Kantuk sukses membuatku bolos.

"Suara lo kayak orang baru bangun tidur, Rin? Lo di kampus atau di mana?"

"Gue di kampus kok. Hoaam." Sial. Rasa kantuk ini masih saja menempel.

"Ya udah, gue berangkat sekarang ya, tungguin gue, bye Rin." Badai menyudahi teleponnya, gue pun beranjak pergi dari perpustakaan menuju toilet wanita. Kebiasaan burukku setiap bangun tidur adalah 'melakukan setoran', mau itu tidur siang atau hanya tertidur sesaat. Tak kenal waktu dan tempat. Mungkin ada yang aneh dengan sistem metabolisme tubuhku. Entahlah. Dan untung saja, toilet-nya sepi.

Baru akan kumulai pertarungan ini, ketika terpaksa harus kutahan karena mendengar seseorang masuk.

"Jadi beneran, lo dah resmi jadian sama Awan?" Kudengar seseorang bertanya.

"Iya, beneran,"  jawab seseorang lagi. Aku mengenali suaranya. Melanie.

"Kok lo mau sih? Dia kan bajingan!"

"Cewek bego aja yang nggak mau sama Awan."

"Iya sih, tapi tetep aja, kalo dia selingkuh gimana? Dia kan terkenal banyak ceweknya."

"Mau selingkuh kek, mau kawin kek, bodo amat. Yang penting apa yang gue mau, dibeliin sama dia."

Benar kan dugaanku. Kali ini Awan yang menjadi korban Melanie. Dasar cewek matre. Aduh duh! Perutku sakit. Mulas tak tertahan.

"Bukannya si Awan sama siapa tuh? Cewek yang nggak banget gayanya."

NGGAK BANGET??? Sialan! Memang apa yang salah dengan gayaku?

"Rintik? Nggak, mereka cuma sahabatan kok."

"Iya sih, mana mungkin Awan mau sama cewek serampangan begitu."

AKU SERAMPANGAN??? THAT DUMB BITCH!!!

"Iyalah! Cewek kayak gitu mana pantes sama Awan!" jawab Melanie lalu tertawa. Kalau saja aku tak menahan sakit perut, aku pasti langsung keluar dan menjambak-jambak rambut mereka.

Duuuuuuuuuut ... peeeesssss....

AH! Kelepasan!

"Anjrit! Siapa tuh?" jerit Melanie.

"Bau banget lagi! Abis makan apaan sih? Pupuk kandang, ya?"

"Najis deh! Mbak ... mbak! Boker tuh di rumah! Jangan di kampus!" gerutu Melanie sebelum dia dan temannya keluar toilet.

"Seandainya gue bisa, gue juga maunya pup di rumah! Dasar cewek-cewek blo'on!!!" gumamku setelah merasa aman. 

 ~*~*~

RintikWhere stories live. Discover now