Evaporasi [1]

17.3K 1K 63
                                    

Mengapa hidup ini begitu mudah bagi anak orang kaya? SANGAT TAK ADIL!!! Masalahku kini bertambah. Bukan hanya Awan –yang terus menerorku dengan permintaan maaf karena apa yang ia lakukan di pesta-, tapi sekarang ada Badai juga. Tidak, Badai tidak meminta maaf, namun tiga hari yang lalu aku dikejutkan oleh telepon darinya. Sejak itu, telepon bahkan pesan singkat darinya tak pernah berhenti.

Aku baru saja pulang kampus ketika melihat Peugeot RCZ Sport berwarna merah terparkir di depan rumahku –memiliki sahabat yang tergila-gila dengan otomotif membuatku mengerti beberapa merek mobil mewah, apalagi ini adalah mobil idaman Awan-. Si empunya mobil keluar begitu aku mendekati pagar rumah. Badai berjalan ke arahku dengan senyum yang memekar di wajah. Badai cukup manis, menurutku. Potongan rambutnya itu selalu mengingatkanku pada artis Hollywood yang aku sendiri lupa namanya.   

"Hai...," sapanya.

"Lo kok bisa tau rumah gue?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Hehehe...," kekehnya tanpa menjawab.

Sudahlah, hidup ini memang sangat mudah bagi anak konglomerat. Tentu saja dengan mudah juga ia mendapatkan alamat rumahku.

"Sibuk nggak?" tanyanya

"Nggak, baru pulang juga, sibuk apaan?" jawabku asal. Pertanyaan itu terasa janggal! Tak bisakah ia melihat kalau aku bahkan belum masuk ke rumah? Sibuk apa aku di depan sini? Kerja bakti?

"Temenin gue makan yu, Rin! Mau nggak?"

"Hhmmm...." Aku masih menimbang-nimbang ajakannya, "Eh...." Tanpa menunggu jawaban, Badai langsung saja menarik tangan dan menggiringku memasuki mobilnya.

Badai membawaku ke Mall di daerah Cilandak, menuntunku ke salah satu restoran di lantai dasar. Ia memilih meja di bagian dalam restoran dengan alasan "Nggak mau diganggu." Entah apa maksud alasannya itu, aku tak mengerti.

Badai memesan smoked salmon dan aku hanya memesan chicken cordon bleu. Badai adalah orang yang cukup menyenangkan, ia juga lucu. Bersamanya saat ini bisa membuat aku melupakan Awan. Dan yang pasti, aku tak perlu susah-susah menjaga image agar terlihat seperti gadis elegan.

"Rin, boleh nanya nggak?"

"Nanya apa? Susah nggak jawabannya?"

"Hehehehe, nggak kok, jawabannya gampang. Cuma iya atau enggak."

"Oh, True or False? Kayak quiz, ya?"

"Ho'oh, tapi gue serius ... sebenernya, lu enggak pacaran kan sama Awan? Tapi ya, lu emang suka sama dia, ya kan?"

Sumpah! Aku seperti baru saja tersambar petir. Bagaimana bisa Badai tahu soal itu? Apa di keningku ada kata 'I love Awan (tapi-sayangnya-kita-enggak-pacaran)' hingga semudah itu perasaanku pada Awan terbaca?

OH GOD!

Apa Awan sendiri tahu?

No! No! No! Badai pasti hanya tebak-tebak berhadiah.

"Kata siapa? Enggak ah!" elakku.

"Jangan bohong!"

"Enggak bohong kok."

"Kalo enggak bohong kenapa merah gitu mukanya?"

Shit! Ekspresi wajahku ternyata yang menyebarkan rahasia ini!

"Lu dapet gosip dari mana?"

"Itu sih bukan gosip, gue bisa tahu dari cara lo ngeliatin dia," jawab Badai sambil cengar-cengir sok misterius.

"Hhmmm ... iya yah? Keliatan?" tanyaku ragu.

Seorang waitress akhirnya datang mengantarkan makanan kami. Memberiku sedikit waktu untuk menyusun jawaban apa yang kira-kira tepat untuk kuberikan pada Badai bila ia kembali mempertanyakan perasaanku. Bahaya! Kalau sampai Badai mengadukan hal ini ke Awan, aku bisa hancur karena malu.

"Bener kan lo suka Awan?" tanyanya sekali lagi.

Tunggu dulu. Dia bilang apa tadi? "Bisa tahu dari cara lo ngeliatin dia?" HAH? Kapan Badai lihat aku melihat Awan? Apa di pesta waktu itu?

"Lo kapan ngeliat gue ngeliatin Awan?" tanyaku seraya menyuapkan potongan chicken cordon bleu yang sudah kuberikan saus sambal ke dalam mulut.

"Kemaren. Di kampus lo."

"Di kampus? Emang lo anak kampus juga?" tanyaku lagi dengan mulut masih penuh makanan. 

"Bukan. Gue kebetulan aja ada di sana." Badai kembali tersenyum sok misterius. "Jadi bener kan? Lo suka sama Awan?"

"Iya, tapi gue nggak pengen suka sama dia. Lo tau dia, kan? Lo kenal dia kaya gimana, kan?" Kupikir, percuma juga aku menutupi perasaanku pada Awan ke Badai, sekalian saja mengaku. Badai mengangguk-angguk mendengar ocehanku. Sesekali ia tertawa.

"Mau gue bantu ngelupain dia, nggak?"

"Caranya?"

"Gampang. Jadian sama gue."

"WHUAT?" Ini kedua kalinya aku dibikin tersedak oleh Badai. Ia kembali mengangguk. "Mana bisa begitu?"

"Bisa dong. Dengan lo jadian sama gue, lo punya orang lain yang ada di pikiran lo, jadi kepala lo udah nggak punya waktu untuk mikirin Awan lagi." Seperti ada gempa ribuan skala ritcher yang melanda kening Badai dan menggoyangkan alisnya ketika ia selesai berkata. Badai menyunggingkan senyum yang menurutku cukup lumayan.

Jadian sama Badai? Hhmmm....

"Lo nggak harus jawab sekarang, Rin."

"Gue juga tau itu. Mana bisa gue jawab sekarang. Ini butuh semedi!" Badai tertawa mendengar jawabanku. "Lagi pula, mana ada sih orang jadian tanpa perasaan suka atau cinta?"

"Bukannya Awan begitu?"

"Iya sih, tapi...."

"Percaya deh sama gue. Ini pasti bisa bikin lo lupa sama Awan."

Perkataan Badai membuatku tak bisa tidur malamnya. Menurutku ini adalah ide yang tidak masuk akal. Walau Awan bisa pacaran tanpa perasaan, bukan berarti aku juga bisa melakukannya. Dan ide Badai belum tentu akan berhasil. Belum apa-apa saja aku sudah pesimis dengan kemampuanku melupakan Awan.  Aku tak yakin, aku ingin melupakan Awan.

"AH! Kenapa bantalnya tiba-tiba keras gini, sih?" gumamku sebal seraya memukul-mukul bantal sendiri. Sudah jam 3:11 AM dan aku belum juga bisa tidur, padahal nanti aku ada kelas pagi. SIAL! Tidur Rintik! TIDUR!

-----------------------------------------------------------


RintikWhere stories live. Discover now