Awal dari Segalanya

337 12 1
                                    

Tik. Tok. Tik. Tok.

Jam dinding menunjukkan pukul satu siang. Seharusnya aku sudah pulang sejak pukul 12 tadi untuk tidur siang sejenak dan bersiap-siap latihan taekwondo jam 4 nanti. Jadwal tidur siangku sebelum latihan sepertinya akan terganggu hari ini. Satu mangkuk kwetiau, sebungkus cakue, sebungkus cilor alias aci telor, dan segelas teh poci rasa markisa membuatku terjebak di rumah Rizkia karena faktor kekenyangan. Alhasil, sampai sekarang aku masih duduk bersandar di sofa dengan kancing celana jeans terbuka sambil menonton film 'Romeo and Juliet'.

"Kamu gak tedo, Cel?" tanya Rizkia sambil menyendok kwetiaunya yang belum habis.

Aku melirik jam dinding, memastikan masih ada waktu santai sejenak karena rasa kenyang yang belebihan ini tidak kunjung hilang, "tedo, tapi berangkatnya ntar aja ah, masih kenyang gile."

"Bukannya ayah kamu lagi di Belgia? Nanti pulangnya sama siapa? Ojeg?" lalu Rizkia tertawa puas, mentang-mentang aku sudah 3 tahun single, Rizkia jadi hobi menjodoh-jodohkanku dengan tukang ojeg.

Biasanya rutinitasku setelah dijodoh-jodohkan dengan tukang ojeg adalah tertawa sambil mencecar Rizkia dengan umpatan dan sedikit main fisik seperti mendorong tubuh kurusnya. Setelah itu dia menyerah dan selalu berkata 'badan kamu gede, Cel, aku kalah dorong-dorongan sama kamu mah'. Bagaimana dia tidak menyerah, berat badan Rizkia hanya sekitar 45 kilo, sedangkan aku dua puluh kilo lebih berat darinya.

Namun kali ini aku hanya ikut tertawa dan mengumpat tanpa mendorongnya karena aku masih kekenyangan. Sebenarnya dibalik itu, aku punya satu nama yang bisa membungkam Rizkia dan aku yakin dia tidak akan menjodoh-jodohkanku dengan tukang ojeg.

"Engga lah enak aja, mau nebeng seseorang yuhuuuu."

Ya, rencananya hari ini aku akan melancarkan suatu rencana yang berjudul 'dianter pulang Derby', Derby adalah pelatihku sekaligus orang yang aku kagumi sejak aku masuk taekwondo sekitar sembilan bulan yang lalu. Rencananya adalah aku akan meminta Derby untuk memberi tumpangan untukku sampai rumah karena kebetulan Ayah sedang ke Belgia dan rumah Derby hanya berbeda beberapa blok dari rumahku. Setelah itu aku akan memberinya coklat asli dari Belgia. Memalukan memang, tetapi entah kenapa aku sangat bersemangat melakukannya.

By the way, aku tidak memberitahu teman-teman taekwondo-ku tentang perasaan dan seluruh rencana yang akan ku jalankan hari ini. Karena jika aku memberitahu mereka, aku akan dibully habis-habisan dan berakhir dengan wajah memerah seperti kepiting rebus.

"Siapa? Kang Rizky?" Kang Rizky itu pelatih taekwondo-ku, tapi Rizkia mengenalnya sebagai pembina ekstrakurikuler pramuka di SMP kami, jadi dia memanggilnya dengan sebutan 'Kang' yang artinya sama saja dengan kakak, sedangkan aku memanggilnya 'Sabeom'  (baca: sabem, sebutan untuk pelatih taekwondo).

"Bukan, sebut saja dia Romeo," kataku sambil masih menatap TV yang menampilkan seorang Romeo.

Rizkia tampak berpikir, sepertinya dia baru mendengar nama Romeo sebagai anak taekwondo, "Romeo?" ia memberi jeda beberapa detik, "Kelas berapa? Anak SMA Merah Putih?" SMA Merah Putih adalah nama SMA-ku dan Rizkia

Aku tak mengalihkan pandangan dari TV, masih mengagumi sosok Romeo yang menjadi tokoh utama film yang kami tonton, "Dia pelatih juga, sama kayak Sabeom Rizky."

"Beda berapa tahun tuh sama Romeo?"

"Berapa tahun ya?" aku menghitung jari, sejujurnya aku tidak tahu persis berapa umur Derby, yang jelas dia seumur Rizky, "Sepuluh mungkin, gak tau delapan," tebakku.

Rizkia tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, membuat aku menoleh kearahnya karena takut dia mendadak kesurupan, beberapa detik kemudian dia berhenti tertawa, "tua dong!" lalu ia tertawa lagi.

Kisah SendiriWhere stories live. Discover now