Kehancuran

75 8 0
                                    

Sabtu lagi. Masih dengan rutinitas yang sama. Ini kesempatan terakhir untuk mengejar bonus itu. Mendadak pikiran negatif menyerangku. Tiba-tiba saja semua semangat dan keyakinan yang malam itu berkobar mendadak padam. Aku kembali menjadi Marcella yang menginginkan pulang dengan Derby.

Tetapi segalanya sudah jelas, Derby seperti menghindariku. Mungkin saja dia tidak menghindariku, tapi kelihatannya dia mendadak sibuk selama dua minggu ini. Dia sama sekali tidak bertanya apakah aku dijemput atau tidak, bahkan dia tidak menemaniku sebelum dijemput Papa.

Dia berbeda.

Apa jangan-jangan dia sudah menyadari segalanya?

Hari ini, jurus lagi. Aku sendiri sudah panas dingin menunggu giliranku. Melihat Rizky lebih ganas dari biasanya membuat aku semakin ciut dan seperti biasa, Derby hanya mengomentari.

"Ya, silakan barisannya Amel."

Aku yang berada dibelakang Amel maju kedepan seperti mayat hidup. Berbaris membentuk garis horizontal. Tegang. Jari-jari kakiku mendadak dingin. Lalu segalanya hanya mengalir seperti air, tidak peduli apakah jurusku bagus atau tidak. Aku hanya ingin pulang bersama Derby.

Mengapa aku masih tidak bisa berhenti memikirkan cara untuk pulang dengan Derby?

Dibawah langit sore aku masih duduk di lapangan. Melihat anak-anak lain yang menampilkan jurusnya.

"Sekarang Sabeom tunjuk perwakilan setiap unit yang paling bagus untuk maju kedepan." Lalu Derby berkeliling dan memanggil satu-persatu yang dianggap bagus.

Aku menghela napas lega. Sudah pasti Amel yang akan ditunjuk. Gadis bertubuh mungil yang satu ini memang jagonya dalam menampilkan jurus.

Derby menghampiri barisanku, dia tampak sedang memilih. Dan aku bisa menebak, Derby pasti memilih—

"Marcella, kedepan."

Eh?

Aku berdiri seperti orang ling-lung. Tidak biasanya aku yang dipanggil kedepan. Padahal aku merasa jurusku sangat buruk hari ini. Jangankan hari ini, rasanya setiap kali latihan, aku tidak pernah menampilkan jurus dengan baik.

Langit senja berganti dengan langit malam. Rizky menutup latihan hari ini dengan doa. Semua anak berhamburan dan langsung masuk ke dalam kelas untuk minum. Aku sendiri penasaran dengan cerita yang akan terjadi setelah ini, semoga saja pertanda baik.

Begitu aku memasuki kelas, aku mendapati Derby sedang berpamitan dengan Rizky, dia juga sudah mengganti doboknya dengan kaos dan celana jeans. Lalu ia berlalu begitu saja keluar dari kelas. Seketika aku mematung. Menatap punggung Derby yang menjauh ditelan gelapnya malam.

Aku gagal.

...

Pikiranku kacau. Apa yang harus aku lakukan? Derby tidak mengantarku pulang. Semua orang pasti akan curiga jika aku secara tiba-tiba memberikan sebuah coklat. Lalu aku harus bagaimana?

Aku masih terperangkap di angkutan kota bersama Amel. Masih dalam mode galau setengah mati karena masalah cokelat. Entah apa yang merasukiku sampai aku benar-benar ingin memberikan cokelat itu.

"Eh, emangnya siapa sih yang mau kamu kasih cokelat itu?"

"Seseorang, temen rumah."

Tiba-tiba Amel memunculkan ekspresi aneh, "Sabeom Derby?"

Ck. Yang benar saja. Tapi memang benar sih. "Bukan, Romeo namanya."

"Kenapa gak Sabeom Derby aja? Ganteng tau."

Deg. Sial. Aku harus bisa mengontrol diri sebelum wajahku berubah merah. "Enak aja, gak mau!"

"Lagian Sabeom Derby juga udah punya kecengan."

Seketika jam berhenti berdetak. Ada pisau tak kasat mata merobek hati. Berdarah. Tidak, tidak, ini tidak benar. Ini hanya gossip, Marcella, tenang.

"Oh iya? Memang siapa kecengannya Derby?" suaraku perlahan berubah seperti menahan tangis.

"Anak taekwondo juga, yang suka pakai kerudung biru, siapa itu namanya aku lupa," Amel tampak memetik-metikkan jarinya sambil berpikir, "Ah, aku ingat."

Ada sebuah jeda sedetik yang rasanya begitu panjang.

"Kak Nancy."

Kisah SendiriWhere stories live. Discover now